Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia

Kompas.com - 29/01/2022, 15:45 WIB
Rizal Setyo Nugroho

Penulis

 

Sejarah etnis Tionghoa di Indonesia

Gelombang imigrasi dari utara

Kedatangan etnis Tionghoa ke Hindia Belanda tak lepas dari jatuh bangunnya dinasti-dinasti di China yang telah memicu gelombang emigrasi orang Tionghoa ke selatan, terutama ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Dikutip dari paparan Dosen Fakultas Teknik Universitas Kristen Immanuel FX Sugianto, selama masa kejayaan Dinasti Ming di awal abad ke-15, ada tujuh ekspedisi besar yang dilakukan di seluruh dunia. Salah satunya yang dipimpin oleh Sam Po (Cheng Ho), berhasil mengunjungi Palembang (Sumatera Selatan).

Dilaporkan bahwa Sam Po membawa ratusan pekerja Tionghoa termasuk sejumlah besar orang Muslim Yunan.

Setelah berhasil menduduki Palembang, Sam Po membangun komunitas Muslim Tionghoa pertama di Indonesia.

Kemudian sejumlah masyarakat Muslim Tionghoa secara berturut-turut dibangun di berbagai tempat di Indonesia antara lain Batavia, Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik dan Mojokerto. Inilah awal tumbuhnya komunitas Muslim Tionghoa di Indonesia.

Baca juga: Sejarah Tahun Baru Imlek dan Gelar Bapak Tionghoa Indonesia untuk Gus Dur

Penyebaran Islam di Indonesia

Sambil membangun komunitas Muslim di banyak tempat, orang Tionghoa mulai mengambil bagian dalam kehidupan komunitas Kerajaan Majapahit saat itu.

Ratu Suhita pernah mengangkat Gan Eng Wan menjadi Kepala Daerah Muslim pertama di Tumapel, sebuah wilayah kecil di dalam Kerajaan Hindu itu.

Antara 1451-1477 Bong Swi Hoo, kemudian disebut Sunan Ampel, berhasil membentuk komunitas Muslim Jawa di pantai utara Jawa.

Sementara itu, Swan Liong, putra Raja Wisesa (Raja Majapahit) dan istrinya yang Tionghoa, diangkat menjadi Kapilen (pemimpin lokal) Islam pertama di Palembang. Dilaporkan bahwa Swan Liong telah membesarkan Djin Bun (Raden Patah), putra Raja Kertabumi (raja terakhir Majapahit) dengan istrinya yang beretnis Tionghoa.

Pada tahun 1475 Raden Patah dikirim oleh Sunan Ampel kembali ke Jawa dan ditempatkan di Demak. Pada tahun yang sama ia mengambil alih Majapahit, dan menyatakan dirinya sebagai Raja Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Dalam upaya mereka membangun masjid, orang Tionghoa baik yang berlatar belakang Muslim maupun non-Muslim terlibat karena keahlian mereka dalam pembuatan tiang kapal. Dengan demikian, gelombang pertama Cina telah membawa gaya hidup mereka yang penuh warna ke kehidupan dinasti dan berkontribusi pada komunitas Muslim di Jawa.

Baca juga: Pembantaian Geger Pecinan 1740 dan Perlawanan Bangsa Tionghoa ke VOC

Orang Tionghoa di Kerajaan Jawa

Warga bersembahyang di Klenteng Hian Thian Siang Tee Bio, Palmerah Selatan, Jakarta Barat, Kamis (11/2/2021). Tahun Baru Imlek kali ini pengurus vihara menyelenggarakan sembahyang malam Imlek kepada warga Tionghoa mulai pukul 06.00 - 20.00 WIB, dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Warga bersembahyang di Klenteng Hian Thian Siang Tee Bio, Palmerah Selatan, Jakarta Barat, Kamis (11/2/2021). Tahun Baru Imlek kali ini pengurus vihara menyelenggarakan sembahyang malam Imlek kepada warga Tionghoa mulai pukul 06.00 - 20.00 WIB, dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.

Di seluruh Kerajaan Islam di Jawa, orang Tionghoa memainkan peran penting, yaitu sebagai penasihat perdagangan dan militer.

Masuknya VOC (Perusahaan Belanda yang melegenda) ke Indonesia telah menggeser peran Tionghoa menjadi mediator, pemegang sewa barang-barang kerajaan atau gerbang tol.

Kedekatan etnis Tionghoa dan Kerajaan Jawa juga dibuktikan dengan dukungan Lasem dan Rembang Kapiten (pemimpin lokal) kepada Raden Rangga dalam usahanya mengalahkan Belanda di Rernbang dan Surabaya pada tahun 1310.

Hubungan erat ini akhirnya mencapai titik balik dengan diangkatnya Ka iten Tan Jin Sing (atas jasanya yang terpuji) sebagai Bupati Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat (KRT Secodningrat) di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III.

Dalam perannya sebagai perwira tinggi kerajaan, Secodiningrat menjadi sombong, sehingga menimbulkan rasa sakit hati di antara perwira kerajaan lainnya.

Meninggalnya Sultan Hamengkubuwono III pada tahun 1814 (setelah memerintah hanya dua tahun) memaksa Secodiningrat dan keluarganya meninggalkan jabatan tinggi mereka dan pensiun dengan uang pensiun. Sejak saat itu benih-benih kecurigaan terhadap etnis Tionghoa mulai tumbuh.

Baca juga: Oei Ing Kiat, Tokoh Muslim Tionghoa Penggerak Perang Kuning

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com