Lokasi tabrakan dengan lokasi penemuan mayat berjarak sangat jauh. Lebih dari 200 kilometer.
Hasil otopsi menunjukan korban Salsabila dinyatakan tewas saat kecelakaan karena luka parah di bagian kepala akibat benturan keras.
Sementara Handi diduga dibuang ke sungai dalam keadaan hidup. Hal ini berdasarkan temuan pasir yang memenuhi saluran pernafasan Handi.
Setelah melakukan pendalaman perkara dengan minimnya alat bukti di awal, TNI AD bergerak cepat untuk mengungkat kasus tersebut dengan terang benderang.
Pusat Polisi Milter Angkatan Darat (Puspom AD) mengambil alih penuntasan kasus tersebut.
Ketiga tersangka yang berdinas di tiga tempat yang berbeda, disatukan penahananannya di Pomdan Jaya.
Identifikasi para pelaku jelas mengarah ke sosok Kolonel Inf Priyanto yang berdinas di Korem Gorontalo, Kopral Dua DA yang bertugas di Kodim Gunung Kidul dan Kopral Dua Ahmad yang berdinas di Kodim Demak.
Dari olah perkara di berbagai lokasi kejadian, jelas terlihat dua prajurit tersebut mematuhi perintah dan arahan Kolonel Priyanto mulai usai kejadian tabrakan hingga pembuangan dua korban tabrak lari ke Sungai Serayu.
Sebagai tanda keseriusan penanganan perkara dan rasa ikut berduka yang mendalam, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman bersama Komandan Puspom AD Letjen TNI Chandra Sukotjo menyambangi rumah duka Handi Harisaputra di Kampung Cijolang, Limbangan (27/12/2021).
Kedua petinggi TNI AD ini memastikan proses hukuman terhadap para pelaku tetap berjalan sesuai mekanisme yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selain layak dipecat karena perbuatan para pelaku sangat di luar batas kemanusian, Jenderal Dudung juga berjanji akan tegas, transparan untuk memperoleh kepastian hukum serta rasa keadilan sesuai fakta hukum.
Bahkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebut tiga pelaku yang telah mencoreng nama baik TNI AD itu layak dihukum mati.
Hanya saja, TNI akan melakukan penuntutan maksimal seumur hidup sesuai pasal 340 KUHP yang dilanggar (Kompas.com, 28 Desember 2021).
Saat diangkat sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 18 Desember 1945 Jenderal Soedirman pernah berujar, “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga".
Pidato Sudirman ini menjadi acuan dasar di tubuh militer Indonesia sampai sekarang (Republika.co.id, 5 Oktober 2019).
Gagasan penting lainnya dari Jenderal Sudirman adalah kesatuan tentara dengan rakyat yang kemudian dimunculkan dengan istilah Tentara Rakyat.
Hal ini terilhami kenyataan bahwa tentara dengan rakyat adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan kemudian mempertahankannya, tidaklah luput dari peran besar rakyat sebagai komponen pendukung utama.
Tentara dalam hal ini TNI, tidak akan ada apa-apanya jika tidak memiliki sokongan kuat dari rakyat.
Jika ada perilaku tentara seperti yang dilakukan para pelaku penabrak Handi dan Salsabila, maka jelas sangat melukai cita-cita luhur Jenderal Sudirman.