Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Beringas Serdadu Berangus Pelaku

Salah satunya untuk menggambarkan tentara yang suka main pukul.

Gus Dur berkisah suatu ketika pemerintah Indonesia mengikuti forum sains tingkat dunia. Misinya untuk mengungkap berapa umur mumi dari Mesir.

Di forum tersebut, negara-negara maju mengirimkan saintis-saintis handal yang berpengalaman, kecuali Indonesia yang hanya mengirimkan seorang tentara berpangkat kolonel.

Ketika tiba saatnya sesi presentasi, saintis dari China memberi kesimpulan akhir bahwa mumi tersebut berumur 100 tahun sebelum Masehi.

Sedangkan tim dari Amerika dengan sangat meyakinkan menyebut bahwa mumi tersebut berusia 100 tahun sebelum Masehi, sekaligus memberi informasi tambahan bahwa bahan rempah-rempah sebagai pengawet mumi.

Sebaliknya utusan dari Indonesia tampil sangat memukau dan mengundang decak kagum dari para hadirin.

Kesimpulan sang kolonel, umur mumi itu 100 tahun sebelum Masehi lebih tiga bulan.

Prosesi mumi dilakukan selama seminggu, dari hari Jumat hingga Kamis. Rempah-rempah sebagai bahan pengawet mumi didatangkan khusus dari Maluku.

Sontak, seisi ruangan yang terdiri dari saintis tingkat dunia bertepuk tangan dengan gemuruh tanpa jeda.

Seorang panitia yang takjub dengan uraian yang rinci sekaligus begitu akurat lalu bertanya kepada kolonel dari Indonesia,”Bagaimana Anda mengetahui mumi Mesir itu dengan detail?”

Sang kolonel dengan enteng menjawab,”Mumi itu saya tonjok dan tendang, biar ngaku!"

Kasus tewasnya dua sejoli Handi Harisaputra (17) dan Salsabila (14) di Kawasan Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tanggal 8 Desember 2021, yang semula dikira kasus kecelakaan lalu lintas biasa ternyata menguak “perilaku” keberingasan tentara, yang kebetulan berpangkat kolonel pula.

Saat berboncengan sepeda motor dan keluar dari mulut gang, Handi dan Salsabila disambar mobil minibus berpelat nomor B 300 Q.

Usai mengalami kecelakaan, Handi Saputra dan Salsabila sempat dibawa oleh pengemudi dan penumpang kendaraan yang menabraknya.

Alasan mereka akan dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan pertama.

Saksi mata di kejadian menyebut para pelaku berbadan tegak dan berambuk cepak ala tentara (Kompas.com, 27 Desember 2021).

Setelah sempat menjadi misterius karena keberadaan Handi dan Salsabila tidak ditemukan di berbagai rumah sakit di sekitaran Bandung, selang tiga hari usai kejadian jasad dua sejoli ini ditemukan di dua lokasi berbeda.

Mayat Handi ditemukan di aliran Sungai Serayu, Desa Banjarparakan, Kecamatan Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah.

Sedangkan jasad Salsabila ditemukan di aliran Sungai Serayu di Cilacap.

Lokasi tabrakan dengan lokasi penemuan mayat berjarak sangat jauh. Lebih dari 200 kilometer.

Hasil otopsi menunjukan korban Salsabila dinyatakan tewas saat kecelakaan karena luka parah di bagian kepala akibat benturan keras.

Sementara Handi diduga dibuang ke sungai dalam keadaan hidup. Hal ini berdasarkan temuan pasir yang memenuhi saluran pernafasan Handi.

Di luar batas kemanusian

Setelah melakukan pendalaman perkara dengan minimnya alat bukti di awal, TNI AD bergerak cepat untuk mengungkat kasus tersebut dengan terang benderang.

Pusat Polisi Milter Angkatan Darat (Puspom AD) mengambil alih penuntasan kasus tersebut.

Ketiga tersangka yang berdinas di tiga tempat yang berbeda, disatukan penahananannya di Pomdan Jaya.

Identifikasi para pelaku jelas mengarah ke sosok Kolonel Inf Priyanto yang berdinas di Korem Gorontalo, Kopral Dua DA yang bertugas di Kodim Gunung Kidul dan Kopral Dua Ahmad yang berdinas di Kodim Demak.

Dari olah perkara di berbagai lokasi kejadian, jelas terlihat dua prajurit tersebut mematuhi perintah dan arahan Kolonel Priyanto mulai usai kejadian tabrakan hingga pembuangan dua korban tabrak lari ke Sungai Serayu.

Sebagai tanda keseriusan penanganan perkara dan rasa ikut berduka yang mendalam, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman bersama Komandan Puspom AD Letjen TNI Chandra Sukotjo menyambangi rumah duka Handi Harisaputra di Kampung Cijolang, Limbangan (27/12/2021).

Kedua petinggi TNI AD ini memastikan proses hukuman terhadap para pelaku tetap berjalan sesuai mekanisme yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Selain layak dipecat karena perbuatan para pelaku sangat di luar batas kemanusian, Jenderal Dudung juga berjanji akan tegas, transparan untuk memperoleh kepastian hukum serta rasa keadilan sesuai fakta hukum.

Bahkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebut tiga pelaku yang telah mencoreng nama baik TNI AD itu layak dihukum mati.

Hanya saja, TNI akan melakukan penuntutan maksimal seumur hidup sesuai pasal 340 KUHP yang dilanggar (Kompas.com, 28 Desember 2021).

Tentara lahir dari rahim rakyat

Saat diangkat sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 18 Desember 1945 Jenderal Soedirman pernah berujar, “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga".

Pidato Sudirman ini menjadi acuan dasar di tubuh militer Indonesia sampai sekarang (Republika.co.id, 5 Oktober 2019).

Gagasan penting lainnya dari Jenderal Sudirman adalah kesatuan tentara dengan rakyat yang kemudian dimunculkan dengan istilah Tentara Rakyat.

Hal ini terilhami kenyataan bahwa tentara dengan rakyat adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.

Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan kemudian mempertahankannya, tidaklah luput dari peran besar rakyat sebagai komponen pendukung utama.

Tentara dalam hal ini TNI, tidak akan ada apa-apanya jika tidak memiliki sokongan kuat dari rakyat.

Jika ada perilaku tentara seperti yang dilakukan para pelaku penabrak Handi dan Salsabila, maka jelas sangat melukai cita-cita luhur Jenderal Sudirman.

Rakyat perlu mendapat pengayoman sekaligus panutan dari tentara. Tentara tidak boleh mengedepankan tindakan fisik terhadap rakyatnya.

Tentara tidak saja kuat dalam hal samapta, tetapi juga memiliki moral Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tentara dalang pengiriman pekerja migran ilegal

Masih soal perilaku tentara yang “menyakiti” hati rakyat, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menduga ada keterlibatan anggota TNI AU dan TNI AL dalam pengiriman pekerja migran Indonesia.

Investigas BP2MI terhadap tenggelamnya kapal yang mengangkut pekerja migran ilegal di Perairan Tanjung Baru, Johor, Malaysia, 15 Desember 2021, yang menyebabkan 21 orang meninggal, tidak lepas dari peran tentara yang teroganisir (Kompas.com, 30 Desember 2021).

Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah menegaskan pihaknya telah menahan Serka S karena dituduh menjadi penyedia jasa transportasi darat bagi para pekerja migran.

Sementara dari TNI AL, telah ditahan Koptu BK yang berdinas di Bintan karena terkait kasus trafficking tersebut (Kompas.com, 02/01/2022).

Komitmen Panglima TNI Andika Perkasa yang segera menindak para pelaku dengan cepat, tegas dan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku harusnya menjadi “ultimum remedium”.

Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

Mengingat oknum yang terlibat adalah berasal dari personel militer, maka ultimum remedium harusnya dibedakan dengan porsi untuk pelaku sipil.

Tentara yang diberi “keistimewaan” dalam penggunaan senjata dan posisi jabatan karena tugasnya, harus mendapat hukuman yang lebih berat.

Treatment hukuman terhadap oknum-oknum tentara harus menimbulkan efek jera agar perilaku yang tidak terpuji, tidak dicontoh oleh tentara-tentara yang lainnya.

Motif membuang dua korban kecelakaan tragedi Nagreg untuk melepaskan tanggungjawab dan penghilangan barang bukti, jelas adalah perbuatan tercela yang jauh dari korsa tentara yang berjiwa Saptamarga.

Motif “fulus” dari tentara yang menjadi fasilitator pengiriman imigran legal ke negeri jiran, jelas mengingkari TNI yang bersikap profesional.

Alih-alih tangguh, tanggon dan trengginas dalam pertempuran mempertahankan kedaulatan negara.

Jangan sampai harapan Entes Hidayatullah – ayah dari Handi Harisaputra salah satu korban tragedi Nagreg – untuk meminta keadilan menjadi sia-sia belaka.

Hingga sampai saat ini, dirinya tidak habis pikir mengapa putranya yang masih hidup begitu tega dibuang para pelaku ke sungai.

Entes seperti orang “kecil” pada umumnya hanya berharap orang “besar” seperti Presiden Joko Widodo yang didapuk undang-undang sebagai Panglima Tertinggi TNI bisa memastikan “keadilan” telah berjalan sebagaimana mestinya.

Di mata hukum, mendiang Handi dan Salsabila, Kolonel Priyanto, Kopda Ahmad atau kita sekalipun adalah sama. Sama sederajat tanpa memandang pangkat dan jabatan.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/11/072518065/beringas-serdadu-berangus-pelaku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke