BODY shaming adalah tindakan yang kerap kali dirasakan oleh sebagian besar orang. Tanpa pandang bulu, pelakunya bisa berasal dari orang terdekat, misalnya keluarga.
Banyak orang yang justru kerap menerima body shaming dari keluarga. Padahal, seharusnya orang-orang terdekat itu bisa menjadi support system untuk para korban.
Bahkan, dari riset yang dilakukan oleh Parapuan tentang “Pengalaman Perempuan Menerima Ujaran Kebencian, Seksisme dan Misogini selama Pandemi Covid-19”, didapatkan hasil bahwa sebanyak 32 persen dari total responden mengaku pelaku utama ujaran kebencian adalah dari keluarga.
Perilaku ini kerap dilakukan saat bertemu dengan keluarga secara langsung.
Biasanya, kalimat yang dilontarkan mencakup, "Eh, kamu gendutan, ya?", "Kok, kamu jerawatan, sih?" atau "Kurus banget kamu, gak makan, ya?".
Kalimat-kalimat itu tak jarang melukai perasaan korban body shaming hingga mereka merasa trauma dan tak nyaman saat berkumpul dengan keluarga besar.
Faktor-faktor yang melatarbelakanginya pun beragam, salah satunya adalah perbedaan pemahaman.
Perbedaan ini bisa terjadi karena orang tua di dalam keluarga, merasa pertanyaan tersebut adalah hal lumrah untuk basa-basi.
Mereka pun menganggap apa yang dilontarkan hanya candaan atau bahkan komentar terhadap penampilan fisik kita.
Pada akhirnya, korban mau tak mau selalu menerima komentar negatif itu.
Body shaming yang dilakukan secara terus-menerus ternyata dapat menimbulkan dampak signifikan untuk korban, baik fisik maupun psikis.
Dampak psikis yang dirasakan salah satunya adalah kekerasan emosi (emotional abuse).
Perilaku yang dilakukan secara kontinu oleh pelaku biasanya akan memanipulasi pikiran korban.
Oleh karena itu, kekerasan ini bisa membuat korban body shaming merasa kehilangan identitas diri mereka, ragu akan diri mereka, merasa tidak berharga, hingga dapat berdampak pada penurunan kualitas hubungan dengan orang sekitar.
Dalam Feminism India, Namrata menceritakan bahwa ia pernah mengalami kekerasan psikis oleh ibunya.