Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Body Shaming dalam Keluarga: Emotional Abuse yang Tak Disadari

Kompas.com - 10/01/2022, 07:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BODY shaming adalah tindakan yang kerap kali dirasakan oleh sebagian besar orang. Tanpa pandang bulu, pelakunya bisa berasal dari orang terdekat, misalnya keluarga.

Banyak orang yang justru kerap menerima body shaming dari keluarga. Padahal, seharusnya orang-orang terdekat itu bisa menjadi support system untuk para korban.

Bahkan, dari riset yang dilakukan oleh Parapuan tentang “Pengalaman Perempuan Menerima Ujaran Kebencian, Seksisme dan Misogini selama Pandemi Covid-19”, didapatkan hasil bahwa sebanyak 32 persen dari total responden mengaku pelaku utama ujaran kebencian adalah dari keluarga.

Perilaku ini kerap dilakukan saat bertemu dengan keluarga secara langsung.

Biasanya, kalimat yang dilontarkan mencakup, "Eh, kamu gendutan, ya?", "Kok, kamu jerawatan, sih?" atau "Kurus banget kamu, gak makan, ya?".

Kalimat-kalimat itu tak jarang melukai perasaan korban body shaming hingga mereka merasa trauma dan tak nyaman saat berkumpul dengan keluarga besar.

Faktor-faktor yang melatarbelakanginya pun beragam, salah satunya adalah perbedaan pemahaman.

Perbedaan ini bisa terjadi karena orang tua di dalam keluarga, merasa pertanyaan tersebut adalah hal lumrah untuk basa-basi.

Mereka pun menganggap apa yang dilontarkan hanya candaan atau bahkan komentar terhadap penampilan fisik kita.

Pada akhirnya, korban mau tak mau selalu menerima komentar negatif itu.

Kekerasan psikis dan fisik 

Body shaming yang dilakukan secara terus-menerus ternyata dapat menimbulkan dampak signifikan untuk korban, baik fisik maupun psikis.

Dampak psikis yang dirasakan salah satunya adalah kekerasan emosi (emotional abuse).

Perilaku yang dilakukan secara kontinu oleh pelaku biasanya akan memanipulasi pikiran korban.

Oleh karena itu, kekerasan ini bisa membuat korban body shaming merasa kehilangan identitas diri mereka, ragu akan diri mereka, merasa tidak berharga, hingga dapat berdampak pada penurunan kualitas hubungan dengan orang sekitar.

Dalam Feminism India, Namrata menceritakan bahwa ia pernah mengalami kekerasan psikis oleh ibunya.

Awalnya, ia adalah gadis kecil dengan tubuh ideal. Kemudian, pubertas membuat badannya mengalami transformasi bentuk tubuh dari kurus ke berisi sehingga pada akhirnya Namrata sering dipanggil mottu (chubby) oleh teman-temannya.

Saat ia berada di rumah, perlakuan ibunya cenderung lebih parah. Menurut dia, sang ibu sering melihat tubuhnya dengan tatapan aneh dan berbeda.

Namrata merasa ibunya tak senang saat tubuhnya bertransformasi. Ditambah, dengan kultur India yang masih kental unsur patriarkinya, membuat beban gadis itu semakin bertambah.

Sering kali perempuan dengan bentuk tubuh yang tak ideal dapat menurunkan "kualitas"-nya di mata laki-laki.

Pada akhirnya, perlakuan itu lantas membuatnya terus menyalahkan diri sendiri karena tak bisa menyesuaikan dengan standar yang ada.

Pikiran-pikiran yang diawali dengan frasa "coba saja kalau…" pun kerap muncul, seperti "coba saja kalau aku tak gemuk, pasti ibuku akan menyayangiku."

Selain psikis, kekerasan emosional ini juga dapat berdampak pada fisik korban. Dalam penelitian tahun 2014, Curtis dan Loomans mengungkapkan bahwa perbincangan negatif soal tubuh dapat membawa seseorang pada mekanisme koping yang salah.

Korban cenderung akan melakukan tindakan yang semakin membahayakan dirinya, seperti pola makan semakin tak terkontrol, sebagai pereda stres dan tekanan.

Apabila tak ditangani dengan tepat, korban tentu akan mengalami gangguan kesehatan yang bisa menyerang fisik mereka, seperti bulimia dan anoreksia.

Hal tersebut tentu sangat berbahaya karena bisa membuka gerbang potensi untuk penyakit lainnya menjangkiti tubuh korban.

Percaya diri

Untuk bangkit dari komentar body shaming pasti tidaklah mudah. Perlu dimiliki tekad dan niat yang kuat terlebih dahulu sebelum memulainya.

Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan adalah menerima segala kekurangan dan kelebihan di dalam diri kita.

Terkadang, perasaan insecure yang berlebihan dapat melelahkan karena dapat menutup potensi diri lainnya.

Banyak dari kita yang justru membuang-buang waktu dengan hanya berfokus pada fisik semata.

Alih-alih insecure, cobalah untuk memahami dan menerima diri sendiri sehingga akan muncul pola pikir body positivity.

Setelah berhasil mengubah pola pikir, kita dapat melakukan advokasi diri (self-advocacy) untuk mempertahankan pendapat kita.

Saat mendapat perlakuan body shaming, cobalah untuk membela diri secara asertif terhadap anggota keluarga yang mengutarakan komentar negatif.

Bisa jadi mereka terus melontarkan hal demikian karena belum teredukasi.

Body positivity dapat membuat kita lebih mindful dalam melakukan sesuatu. Hal itu karena secara emosi, kita sudah lebih berkembang karena melihat tubuh sebagai entitas yang positif sehingga komunikasi dapat dilakukan dengan baik.

Jadi, jangan takut untuk mengutarakan keresahan terhadap komentar negatif.

Standar kecantikan di masyarakat terus-menerus ada karena kurangnya pemahaman.

Seperti ungkapan Poojah dalam StyleCaster bahwa sebenarnya tak ada standar yang mencakup seluruh perempuan di dunia karena setiap orang memiliki standar kecantikannya masing-masing.

Oleh karena itu, percaya diri adalah kunci agar kita bisa menetapkan standar untuk diri sendiri.

Di dalam siniar Semua Bisa Cantik bertajuk "Body Shaming dari Keluarga: Perbedaan Antargenerasi", Psikolog Anak dan Remaja, Ayoe Sutomo, M.Psi. memberikan pandangannya terkait masalah body shaming dalam keluarga karena perbedaan generasi yang kerap dialami oleh Gen Z.

Kalian dapat mendengarkan siniarnya melalui Spotify atau akses melalui tautan berikut https://spoti.fi/3DTZSc8!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com