Setiap kengototan bermain yang ditunjukkan kiper Nadeo Argawinata, sepakan Syahrul Fadilah, aksi meliuk-liuk Pratama Arhan atau tendangan Ramai Rumakiek adalah bukti keterasahan mereka selama dibesut STY.
Belum lagi pengalaman merumput di liga luar negeri seperti yang diperlihatkan Egy Maulana Vikri (FK Senica), Witan Sulaeman (Lechia Gdanks), Syahrian Abimanyu (Johor Darul Tazim), Elkan Baggott (Ipswich Town) serta Asnawi Mangkualam (Ansan Greeners) membuat pola permainan timnas kita semakin matang.
Tidak ada yang salah dengan pemain dan pelatih kita, selain kita memang kalah kelas dengan tim Thailand. Perlu usaha lebih keras lagi dengan mencari talenta-talenta baru lagi dengan menggiatkan roda kompetisi di segala lini.
Justru di ajang Piala AFF 2020 sekarang ini menjadi momentum untuk menggugat kerja-kerja yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga selama ini. Setelah kejadian yang “memalukan” terjadi di Aarhus, Denmark saat Indonesia menjuarai Thomas Cup usai menekuk China di partai final (17 Oktober 2021), kegembiraan pemain dan official yang membawa nama negara serta gegap gempita penonton di Tanah Air menjadi kurang sempurna.
Merah Putih, bendera Indonesia, dilarang berkibar karena sanksi dari otoritas anti doping dunia atau WADA terhadap Indonesia belum dicabut. WADA yang bermarkas di Montreal, Kanada menganggap LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia) sebagai otoritas anti doping di Tanah Air ditabalkan melanggar kode anti doping WADA.
Baca juga: Bendera Merah Putih Dilarang Berkibar di Piala AFF 2020, Ini Penggantinya
Selain dilarang mengibarkan bendera Merap Putih di ajang internasional seperti di gelaran Piala AFF 2020 ini, juga Indonesia dilarang menjadi tuan rumah atau penyelenggara ajang olahraga level regional, kontinental, hingga dunia selama setahun.
Hukuman yang dijatuhkan WADA sejak 7 Oktober 2021 telah dijanjikan berkali-kali akan dituntaskan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali, dalam berbagai kesempatan. Tim akselerasi dan investigasi bentukan Kemenpora untuk menyelesaikan persoalan sanksi dari WADA ternyata hasilnya juga nihil.
Optimisme penyelesaian sanksi dari WADA yang disuarakan Menpora Zainudin Amali sejak awal Oktober 2021 hingga memasuki tahun 2022 masih jauh panggang dari api (Bola.net, 8/10/2021). Zainudin pernah berujar WADA bersedia test dopping plan menunggu sampel uji doping di PON Papua untuk memenuhi batas minimal TDP atlet Indonesia. Ternyata Indonesia masih menyandang sanksi sehingga Merah Putih tetap tidak bisa berkibar di Piala AFF 2020.
Saat Timnas Merah Putih lolos ke semi final Piala AFF, Menpora begitu rajin melontarkan komentar soal prestasi anak asuh STY serta menjanjikan keberlagsungan kepelatihan STY tanpa menyinggung tugas utamanya sebagai menteri pemuda dan olahraga yakni salah satunya menuntaskan sanksi WADA.
Begitu terkesan kuat jika permasalahan doping tidak menjadi isu kuat di pengelolaan olahraga Tanah Air. Padahal masalah doping ini menjadi concern utama dari berbagai entitas olahraga internasional untuk memastikan bahwa penyelenggaraan olahraga berjalan fair dan memenuhi prinsip-prinsip sportivitas.
Saya jadi teringat mendiang Presiden Abdurrahman Wahid yang begitu fasih saat berbicara mengenai sepak bola. Gus Dur menganggap permainan sepak bola itu gambaran yang sempurna dari bangun politik sebuah kepemimpinan.
Ada kalanya sebagai presiden, Gus Dur memainkan permainan cattenaccio ala Italia yakni bertahan dan menggerendel serangan lawan lalu mencari sela-sela kelengahan lawan untuk secepat mungkin menghajar lawan dalam satu persoalan, misalnya dalam penyelesaian kasus Bulog. Gus Dur bertahan dari gempuran musuh sambil menanti peluang serangan balik.
Bagi Gus Dur, dalam suatu waktu jika pola hit and run menjadi mejan dalam permainan politik kerap diganti menjadi pola total football. Artinya dengan segenap potensi yang dimiliki bangsa, dianggap bisa menuntaskan segala persoalan. Gus Dur bisa berperan sebagai jenderal lapangan atau playmaker yang mengatur serangan atau menjadi palang pintu di jantung pertahanan atau berganti rupa menjadi striker.
Sayangnya, Zainudin Amali yang didapuk Partai Golkar menduduki kursi menpora tidak sempat belajar dari Gus Dur tentang permainan sepakbola. Zainudin Amali lebih memilih pola permainan defensif yang kerap dimainkan pelatih Mourinho saat membesut Chelsea dan Tottenham Hostpur yakni dengan “parkir bus”.
Persoalan besar yang menimpa olahraga nasional tidak dituntaskan Menpora Zainudin Amali dengan berujung gol atau hasil tetapi lebih memilih sibuk dengan bantah membantah.
Seharusnya dalam kasus penyelesian sanksi doping dari WADA, Zainudin Amali memilih pola permainan gegenpressing yang dikembangkan Ralf Rangnick. Selain menuntaskan persoalan sanksi doping dengan cepat dan cermat juga menggerakkan jajarannya di Kemenpora untuk bekerja maksimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Sekali lagi, Merah Putih absen berkibar di Piala AFF karena lemahnya kepemimpinan menteri yang ditugaskan Presiden Joko Widodo mengurusi persoalan olahraga dan pemuda. Kini saatnya Jokowi mencari striker baru di Kemenpora agar pola permainan menteri-menterinya di kabinet sesuai dengan arahan coach RI-1.
Dan sekali lagi, kalah menang di ajang Piala AFF 2020 adalah hal yang biasa. Juara tidak harus selalu nomor 1. Nomor 2 pun tetap juara karena kita telah mengalahkan nomor 3, 4 atau 5 bahkan 6 dan 7.
Justru ketiadaan kibaran bendera Merah Putih adalah kekalahan kita yang menyesakkan dada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.