Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Asa Pasukan "STY" dan Masih Absennya Bendera Merah Putih di Piala AFF 2020

Penyakit yang diidap warga Tulung Agung, Jawa Timur itu tidak sanggup melihat keseruan pertandingan kesebelasan Indonesia yang dibesut Shin Tae Yong (STY) di perempat final Piala AFF 2020 pada Sabtu (25/12/2021) dan lolos ke partai final.

Sebaliknya riuh kekecewaan warga yang nonton bareng timnas melawan Thailand di leg pertama final Piala AFF yang memadati sebuah warung kopi di pinggir jalan di sudut Kota Surabaya, Jawa Timur begitu terasa pada Rabu lalu.

Bola memang bulat, ekspektasi yang begitu membuncah menjadi luruh usai "pasukan garuda" dilumat "gajah perang" dengan angka telak 4-0. Tidak kurang para petinggi negeri hingga warga jelata menyaksikan dengan tegang kegigihan Timnas berjuang di lapangan hijau.

Memang ini baru pertandingan leg pertama, masih ada kesempatan lagi di pertandingan leg ke dua yang dihelat di pada 1 Januari 2022.

Dari pertandingan olahraga, termasuk sepakbola, kita bisa melihat keseruan komentar jauh lebih ramai dibandingkan jalannya pertandingannya di lapangan. Bearagam pendapat berdasarkan versi masing-masing menjadi alasan pembenar yang kadang sulit dikompromikan. Kebebasan berpendapat adalah sebuah kewajaran namun kadang kita melupakan logika yang paling sederhana sekalipun.

Semuanya menyalahkan pemain. Kerap pula kekesalan ditimpakan kepada pelatih. Bisa pula, sasaran kesalahan ditimpakan kepada ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dianggap mencari “panggung” dengan berusaha masuk ke ruang ganti pemain atau malah ke menteri urusan olahraga yang tidak becus mengurus persoalan doping hingga pelarangan pengibaran bendera nasional.

Lain lagi dengan komentar seorang presenter layar kaca yang malah berharap Indonesia tidak menjuarai Piala AFF. Selain menganggap pemain timnas banyak gaya dan provokatif, kemampuan timnas yang kewalahan menghadapi sembilan pemain Singapura di babak perempat final menjadi ukuran timnas memang belum layak menjadi jawara di Kawasan Asia Tenggara (Kompas.com, 27 Desember 2021).

Namun tidak kalah hebatnya lagi, masih begitu banyak dukungan mengalir dari berbagai kalangan dengan mengesampingkan pesismisme kemampuan pasukan STY. Beberapa pesohor menjanjikan dana besar untuk mengapresiasi perjuangan timnas. Kalah atau menang menjadi urusan kedua, yang lebih penting lagi unjuk gigi mengerahkan segala kekuatan untuk menghadapi lawan.

Hargai proses perjuangan

Perjuangan pasukan STY hingga bisa menapak di pertandingan final Piala AFF 2020 adalah sebuah proses panjang dari setiap pertandingan ke pertandingan. Bertanding tanpa pernah kala di babak penyisihan grup. Melumat Kamboja dengan 4-2 dan melahap Laos dengan 5-1 , menahan seri tim terkuat Vietnam hingga menghajar musuh “bebuyutan” Malaysia dengan angka telak 4-1.

Dalam pertandingan melawan Singapura di perempat final, Indonesia menang dengan agregat 5-3. Sejak saat itulah semua harapan tinggi dipasang oleh pencinta sepakbola Tanah Air agar timnas mampu menghadapi Thailand. Sayangnya, ketenangan pemain-pemain Thailand dalam mengolah bola yang berujung gol, begitu elok diperagakan. Kita memang kalah kelas dengan Thailand.

Melihat semua fase pertandingan yang telah dilakoni timnas, tidak ada salahnya kita menghargai sebuah proses yang telah dilalui pasukan STY. Mulai dari pemilihan pemain, pemusatan pelatihan nasional hingga serangkaian laga uji coba. Kalah-menang adalah hasil tetapi yang jauh lebih penting adalah proses yang mereka jalani.

Keinginan untuk menang dan juara pun pun tidak hanya milik Thailand atau Indonesia yang bertarung di partai final. Yang tersingkir pun seperti Vietnam dan Singapura juga memasang target juara. Kita mengalahkan harimau Malaya pun juga sebuah capaian prestasi yang membanggakan ditengah cibiran merendahkan dari lawan.

Ada yang terlupakan oleh kita semua, rata-rata usia pemain timnas kita adalah 23 tahun sedangkan Thailand berumur 27 tahun. Artinya pembibitan pemain nasional kita bisa dibanggakan. Pemain tertua Thailand adalah kiper Siwarak Tedsungnoen yang berusia 37 tahun dan pernah dimainkan Thailand.

Sementara pemain timnas kita yang paling senior Victor Igbonefo sudah berumur 36 tahun dan belum pernah dimainkan sama sekali di ajang Piala AFF 2020.

Setiap kengototan bermain yang ditunjukkan kiper Nadeo Argawinata, sepakan Syahrul Fadilah, aksi meliuk-liuk Pratama Arhan atau tendangan Ramai Rumakiek adalah bukti keterasahan mereka selama dibesut STY.

Belum lagi pengalaman merumput di liga luar negeri seperti yang diperlihatkan Egy Maulana Vikri (FK Senica), Witan Sulaeman (Lechia Gdanks), Syahrian Abimanyu (Johor Darul Tazim), Elkan Baggott (Ipswich Town) serta Asnawi Mangkualam (Ansan Greeners) membuat pola permainan timnas kita semakin matang.

Tidak ada yang salah dengan pemain dan pelatih kita, selain kita memang kalah kelas dengan tim Thailand. Perlu usaha lebih keras lagi dengan mencari talenta-talenta baru lagi dengan menggiatkan roda kompetisi di segala lini.

Mengapa "Merah Putih" masih absen

Justru di ajang Piala AFF 2020 sekarang ini menjadi momentum untuk menggugat kerja-kerja yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga selama ini. Setelah kejadian yang “memalukan” terjadi di Aarhus, Denmark saat Indonesia menjuarai Thomas Cup usai menekuk China di partai final (17 Oktober 2021), kegembiraan pemain dan official yang membawa nama negara serta gegap gempita penonton di Tanah Air menjadi kurang sempurna.

Merah Putih, bendera Indonesia, dilarang berkibar karena sanksi dari otoritas anti doping dunia atau WADA terhadap Indonesia belum dicabut. WADA yang bermarkas di Montreal, Kanada menganggap LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia) sebagai otoritas anti doping di Tanah Air ditabalkan melanggar kode anti doping WADA.

Selain dilarang mengibarkan bendera Merap Putih di ajang internasional seperti di gelaran Piala AFF 2020 ini, juga Indonesia dilarang menjadi tuan rumah atau penyelenggara ajang olahraga level regional, kontinental, hingga dunia selama setahun.

Hukuman yang dijatuhkan WADA sejak 7 Oktober 2021 telah dijanjikan berkali-kali akan dituntaskan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali, dalam berbagai kesempatan. Tim akselerasi dan investigasi bentukan Kemenpora untuk menyelesaikan persoalan sanksi dari WADA ternyata hasilnya juga nihil.

Optimisme penyelesaian sanksi dari WADA yang disuarakan Menpora Zainudin Amali sejak awal Oktober 2021 hingga memasuki tahun 2022 masih jauh panggang dari api (Bola.net, 8/10/2021). Zainudin pernah berujar WADA bersedia test dopping plan menunggu sampel uji doping di PON Papua untuk memenuhi batas minimal TDP atlet Indonesia. Ternyata Indonesia masih menyandang sanksi sehingga Merah Putih tetap tidak bisa berkibar di Piala AFF 2020.

Saat Timnas Merah Putih lolos ke semi final Piala AFF, Menpora begitu rajin melontarkan komentar soal prestasi anak asuh STY serta menjanjikan keberlagsungan kepelatihan STY tanpa menyinggung tugas utamanya sebagai menteri pemuda dan olahraga yakni salah satunya menuntaskan sanksi WADA.

Begitu terkesan kuat jika permasalahan doping tidak menjadi isu kuat di pengelolaan olahraga Tanah Air. Padahal masalah doping ini menjadi concern utama dari berbagai entitas olahraga internasional untuk memastikan bahwa penyelenggaraan olahraga berjalan fair dan memenuhi prinsip-prinsip sportivitas.

Saya jadi teringat mendiang Presiden Abdurrahman Wahid yang begitu fasih saat berbicara mengenai sepak bola. Gus Dur menganggap permainan sepak bola itu gambaran yang sempurna dari bangun politik sebuah kepemimpinan.

Ada kalanya sebagai presiden, Gus Dur memainkan permainan cattenaccio ala Italia yakni bertahan dan menggerendel serangan lawan lalu mencari sela-sela kelengahan lawan untuk secepat mungkin menghajar lawan dalam satu persoalan, misalnya dalam penyelesaian kasus Bulog. Gus Dur bertahan dari gempuran musuh sambil menanti peluang serangan balik.

Bagi Gus Dur, dalam suatu waktu jika pola hit and run menjadi mejan dalam permainan politik kerap diganti menjadi pola total football. Artinya dengan segenap potensi yang dimiliki bangsa, dianggap bisa menuntaskan segala persoalan. Gus Dur bisa berperan sebagai jenderal lapangan atau playmaker yang mengatur serangan atau menjadi palang pintu di jantung pertahanan atau berganti rupa menjadi striker.

Sayangnya, Zainudin Amali yang didapuk Partai Golkar menduduki kursi menpora tidak sempat belajar dari Gus Dur tentang permainan sepakbola. Zainudin Amali lebih memilih pola permainan defensif yang kerap dimainkan pelatih Mourinho saat membesut Chelsea dan Tottenham Hostpur yakni dengan “parkir bus”.

Persoalan besar yang menimpa olahraga nasional tidak dituntaskan Menpora Zainudin Amali dengan berujung gol atau hasil tetapi lebih memilih sibuk dengan bantah membantah.

Seharusnya dalam kasus penyelesian sanksi doping dari WADA, Zainudin Amali memilih pola permainan gegenpressing yang dikembangkan Ralf Rangnick. Selain menuntaskan persoalan sanksi doping dengan cepat dan cermat juga menggerakkan jajarannya di Kemenpora untuk bekerja maksimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Sekali lagi, Merah Putih absen berkibar di Piala AFF karena lemahnya kepemimpinan menteri yang ditugaskan Presiden Joko Widodo mengurusi persoalan olahraga dan pemuda. Kini saatnya Jokowi mencari striker baru di Kemenpora agar pola permainan menteri-menterinya di kabinet sesuai dengan arahan coach RI-1.

Dan sekali lagi, kalah menang di ajang Piala AFF 2020 adalah hal yang biasa. Juara tidak harus selalu nomor 1. Nomor 2 pun tetap juara karena kita telah mengalahkan nomor 3, 4 atau 5 bahkan 6 dan 7.

Justru ketiadaan kibaran bendera Merah Putih adalah kekalahan kita yang menyesakkan dada.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/31/170000265/asa-pasukan-sty-dan-masih-absennya-bendera-merah-putih-di-piala-aff-2020

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke