Sementara itu, dari faktor eksternal, masyarakatlah yang berperan karena selera mereka telah berubah sesuai tren.
Oleh karena kedua faktor tersebut, pada akhirnya terdapat beberapa hal di dalam pertunjukkan wayang yang disesuaikan dengan tidak mengubah kaidah pokok dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Secara tak langsung, perkembangan teknologi juga turut mengubah sifat dan pola pikir masyarakat.
Perubahan ini ternyata berdampak pada cara pandang masyarakat terhadap terhadap budayanya.
Terkadang, beberapa masyarakat akan lebih tertarik untuk menonton film di bioskop daripada menyaksikan wayang secara langsung.
Hal ini dikarenakan wayang memiliki waktu pentas yang cukup panjang sehingga tak semua orang dapat menikmatinya.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, nyatanya pertunjukkan wayang selalu menghadirkan sesuatu yang baru karena terus berevolusi sesuai dengan kebutuhan zamannya.
Misalnya pada tahun 1145, yaitu ketika Raden Panji Kasatriyan menjadi raja di Kerajaan Jenggala, wayang purwa dibuat dari kulit hewan.
Kemudian bahan pembuatan wayang ini bertransformasi menjadi kertas lebar sehingga memunculkan istilah wayang beber.
Perubahan ini dilakukan oleh raja kerajaan Majapahit, yaitu Raden Jaka Sesuruh pada tahun 1283.
Sementara itu, pada era modern ini, wayang yang mulai mengalami penurunan penonton melakukan kolaborasi dengan teknologi.
Apabila keduanya berjalan dengan baik, tentu tak hanya kebudayaan saja yang tetap lestari, tapi kehidupan para senimannya juga sejahtera.
Hal itu akan memacu mereka lebih giat karena disediakannya ruang untuk berkarya dan memperkenalkan wayang kepada masyarakat luas.
Akan tetapi, yang terkadang menjadi permasalahan adalah ketika televisi menayangkan pertunjukkan wayang.
Banyak sekali perubahan yang terjadi karena tim produksi juga harus mempertimbangkan daya tarik penonton.