Hal itu, kata dia, berarti ada kebocoran data yang cukup sistematik. Bisa di sisi sistem marketplace maupun di sisi ekspedisi.
Di sisi seller juga bisa terjadi, namun akan mudah ketahuan karena penipuan hanya terjadi di beberapa seller saja.
Karena itu dia menyarankan penyelidikan lebih lanjut baik oleh aparat maupun pihak marketplace dan ekspedisi.
Baca juga: Viral Unggahan Kebocoran Data Berimbas Penipuan Pengiriman Barang, Apa yang Harus Dilakukan?
Menurut Pratama, modus penipuan COD yang sedang marak sekarang ini tidak bisa dicegah, namun bisa diminimalisir dengan menginfokan kepada orang rumah bahwa tidak pernah membeli barang dengan pembayaran COD dan dengan tegas untuk membayar paket tersebut.
Dia juga menyarankan saat membeli barang secara online, hindari dengan pembayaran COD dan lebih baik melakukan pembayaran di awal.
"Kuncinya penipuan tidak terjadi lagi adalah dari pihak pembeli dan kurir ekspedisi harus benar-benar diperkuat hak-haknya. Misalnya ada pembeli yang nakal dan mengembalikan barang, ongkos pengiriman tetap harus ditanggung oleh pihak marketplace, sehingga tidak merugikan ekspedisi dan kurir," kata Pratama.
Baca juga: Sering Terima SMS Penawaran atau Penipuan? Ini Cara Melaporkannya...
Namun, lanjutnya, kunci masalah dalam kasus COD adalah di pengamanan data.
"Harus ditelusuri di mana yang bocor dan mana yang menyalahgunakan data transaksi COD ini, sehingga bisa diperbaiki dan ditegakkan hukum pada para pelaku," kata dia.
Pratama mengungkapkan yang bisa dilakukan masyarakat untuk melindungi data pribadinya untuk saat ini tidak ada.
"Jadi masyarakat harus punya awareness yang tinggi untuk berhati-hati dan menyadari kemungkinan data yang bocor itu disalahgunakan oleh pelaku kejahatan, misalnya digunakan untuk menghubungi atau berpura-pura sebagai orang terdekat kita," tuturnya.
Baca juga: Ramai Penipuan Modus Minta Kode OTP, Ini Cara Antisipasi dari Telkomsel
Hal itu karena tidak ada instrumen UU satu pun yang melindungi dan memberikan hak bagi warga negara Indonesia untuk melindungi datanya sendiri.
Misalnya, right to be forgotten, hak untuk menghapus data, belum ada karena memang harus menunggu UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) rampung.
"Di sinilah negara harus bisa memposisikan diri di tengah-tengah masyarakat maupun dunia usaha. Pun sebenarnya lembaga negara ini seperti halnya swasta, harus tunduk pada UU PDP," kata dia.
Dia berharap UU PDP yang sedang digarap ini nantinya benar-benar kuat. Jadi negara dan swasta akan dipaksa patuh dengan UU PDP. Pada akhirnya akan melahirkan ekosistem digital yang aman dan penuh kepercayaan masyarakat.
Baca juga: Mengapa Masih Ada yang Percaya Penipuan Bermodus Penggandaan Uang?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.