Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tips agar Perut Tak Gegar Budaya Makan Saat Merantau

Kompas.com - 11/09/2021, 11:53 WIB
Artika Rachmi Farmita

Penulis

KOMPAS.com - Merantau seringkali menjadi momen yang menantang dari aspek sosial dan budaya, terutama urusan perut. Apalagi jika jenis kuliner yang tersedia berbeda jauh dari yang biasa kita makan di kampung halaman.

Polemik gegar budaya makan ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial. Cuitan netizen Laila Dimyanti @lailadimyanti viral setelah membandingkan isian daging di soto daerah Jawa dan Sumatera.

Warganet lalu beradu pendapat soal jumlah lauk dalam satu porsi makan orang Sumatera yang terbilang banyak.

Twit @melanieppuchino yang mengomentari twit Laila dengan menyebutkan ia sebagai orang Sumatera biasa makan lauk empat sampai lima jenis dalam sekali bersantap di rumah.

Ia juga mengaku sempat gegar budaya saat pindah ke Jawa karena budaya makan yang berbeda dan sampai delapan tahun tinggal di Jakarta masih berusaha menyesuaikan budaya makan di Jawa.

Perdebatan ini semakin memanas dan beralih menjadi perbandingan jumlah lauk yang disantap orang Sumatera sekali makan dengan jumlah lauk di Jawa.

Banyak pula netizen yang tidak setuju dengan cuitan tersebut. Sebagian membeberkan fakta bahwa tak semua orang Sumatera menyantap banyak lauk dalam sekali makan.

Baca juga: Twit Viral Netizen Bandingkan Porsi Lauk di Sumatera dan Jawa

Dosen Antropologi Sosial Universitas Andalas Sumatera Utara, Yevita Nurti, memaparkan asal muasal makna budaya makan orang Minangkabau. Ia mengatakan, budaya tersebut bukan sekadar makan.

"Dari nenek moyang kita makan itu adalah simbol kebersamaan, pengakuan hubungan satu sama lain," kata Yevita dihubungi Kompas.com, Rabu (8/9/2021).

Budaya makan beramai-ramai

 

Dalam setiap ritual budaya Minangkabau, makan jadi sesi penting dan utama. Tak heran apabila orang Minang akan berusaha menyuguhkan makanan terbaik untuk para tamu.

Budaya makan orang Minang ini tercermin dari sebutan 'perempuan sepuh di nagari' (desa) yang disebut 'induak bareh' atau secara harfiah ibu beras.

Namun bukan berarti orang Sumatera bisa digeneralisir sebagai orang yang berlebihan dalam bersantap makanan.

Yevita kurang setuju dengan netizen yang menyebutkan orang Sumatera--khususnya Minangkabau--harus makan banyak lauk dalam sekali makan.

"Konsep makan orang Minang itu lamak atau enak dari berbagai masakan khas, tetapi itu makan untuk beramai-ramai bukan untuk satu orang," jelas Yevita.

Kembali lagi ke budaya makan orang Minang; ini dilakukan sebagai bentuk kebersamaan dan berbagi.

Baca juga: Resep Ayam Pop Khas Minang, Lauk Sahur Bumbu Tidak Ribet

 

"Sebanyak-banyaknya makanan, seorang makan dua lauk sudah membuat kenyang," kata Yevita.

Dosen Antropologi Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto, menyatakan bahwa budaya makan erat kaitannya bagaimana seseorang memandang makanan dan selera makan.

Maka dari itu, gegar budaya makan saat harus berpindah atau merantau, dalam hal ini dari Sumatera ke Jawa, merupakan hal yang wajar.

Dsen yang akrab disapa Aji itu mengatakan, gegar budaya adalah normal dan sesuatu yang bisa diterima. Sebab, seseorang biasanya lebih nyaman di lingkungan budaya yang sama.

Budaya makan berbeda memang bisa menyebabkan kesulitan dalam skala kecil. Terutama jika fisik harus ikut beradaptasi.

"Dari pakar biologi juga menyebutkan kalau sistem pencernaan kita ini sudah terbentuk lama dari kecil sampai dewasa. Lidah bisa bilang enak tetapi perut kaget. Soal makanan sangat sensitif," jelas Aji.

Membawa beras dari kampung halaman

 

Ada cara sederhana yang dapat dilakukan saat mengalami gegar budaya makan. Kata kuncinya ialah dengan beradaptasi.

Yevita mengatakan, saat ada orang Minang yang belum terbiasa dengan makanan di tanah rantau biasanya mereka akan memasak makanan sendiri.

Selain membawa bumbu makanan khas kampung halaman, terdapat tantangan lain yang mungkin dihadapi.

Adaptasi makanan cukup berat biasanya terjadi saat orang Minang belum terbiasa dengan beras dari Jawa yang lengket dan pulen. Biasanya mereka akan meminta dikirim beras dari kampung halaman.

"Bahkan rumah makan padang di Jawa pun dari rasanya mungkin tidak sama karena penyesuaian selera dan perbedaan bahan karena perbedaan tanah," ujar Yevita.

Baca juga: Netizen Debat Bandingkan Porsi Lauk di Sumatera dan Jawa, Ini Penjelasan Antropolog

 

Namun demikian, menurutnya orang Minang tetap akan beradaptasi menganut pepatah Minang "Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang".

Pepatah tersebut memiliki arti yang tak jauh beda dengan pepatah yang dikenal secara umum di Indonesia. Yakni, orang Minangkabau harus mampu beradaptasi di tanah rantau, termasuk dalam soal budaya makan dan menghormati budaya makan setempat.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Netizen Debat Bandingkan Porsi Lauk di Sumatera dan Jawa, Ini Penjelasan Antropolog"

Sumber: Kompas.com (Penulis: Silvita Agmasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com