Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vonis Juliari Batubara dan Cacian yang Meringankannya

Kompas.com - 24/08/2021, 14:32 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, divonis 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (23/8/2021).

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Muhammad Damis menilai, Juliari sudah cukup menderita akibat cacian dan hinaan masyarakat. Hal itu menjadi salah satu yang meringankan Juliari.

"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," demikian hakim Damis.

Hal ini merupakan salah pertimbangan hakim untuk meringankan vonis politikus PDI Perjuangan tersebut, selain belum pernah dijatuhi hukuman pidana.

Baca juga: 5 Poin Pleidoi Juliari: Mohon Dibebaskan hingga Minta Maaf ke Jokowi dan Megawati

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, alasan itu seharusnya tidak menjadi pertimbangan dalam meringankan hukuman.

"Hal yang meringankan ya bahwa dia belum pernah dihukum dan menjadi kepala keluarga, itu saja cukup," kata Boyamin saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/8/2021).

"Tidak usah ditambahi di-bully masyarakat. Apakah dulu Setya Novanto di-bully itu jadi faktor meringankan, kan tidak juga," lanjut dia.

Tetap apresiasi vonis lebih tinggi daripada tuntutan

Meski demikian, Boyamin menghormati putusan pengadilan yang berlaku berdasarkan asas Res Judicata.

Menurut dia, vonis tersebut patut diapresiasi karena melebihi tuntutan jaksa.

Boyamin justru menyoroti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak berani menuntut Juliari dengan hukuman seumur hidup.

"Mestinya kan KPK berani menuntut seumur hidup karena pasalnya memungkinkan untuk itu, Pasal 12 maupun 18 UU Pemberantasan Korupsi. Itu yang kita sayangkan, karena menuntutnya hanya 11 tahun," kata dia.

Dengan sejumlah faktor yang memberatkan, seperti terdakwa yang tidak terbuka dan enggan mengakui perbuatannya, Bonyamin menyebut hukuman yang diterima setidaknya 20 tahun.

Baca juga: Ahli Sayangkan Vonis Juliari Batubara Hanya 12 Tahun Penjara

Ia menduga, hakim tidak terlalu berani menaikkan hukuman hukuman lebih banyak karena khawatir akan dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi, sehingga dikembalikan seperti tuntutan jaksa.

"Maka cari aman ya tambah satu tahun. Ini perlu dikoreksi juga, mestinya hakim pengadilan tinggi di tingkat banding atau MA nanti ya kalau ini prosesnya banding, harus menaikkan lagi sampai 20 tahun atau seumur hidup," ujar Boyamin.

Terkait kasus korupsi bansos sembako ini, MAKI menuntut agar KPK segera menyelesaikan penyelidikan atas penerapan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Korupsi.

Jika benar-benar ditemukan adanya pemotongan bansos dari Rp 300.000 menjadi Rp 188.000 per paket, maka kasus ini memenuhi kriteria pasal tersebut dan bisa dituntut hukuman mati.

Jika proses penyelidikannya lamban, Boyamin mengatakan, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan agar segera meningkatkan penyidikan dan menetapkan tersangka baru.

"Tidak menutup kemungkinan pejabat-pejabat yang sudah disidang di kasus bansos bisa jadi tersangka lagi di kasus Pasal 2 dan 3," ucap Boyamin.

Menurut dia, pasal tersebut memungkinkan untuk melacak aliran dana ke pihak-pihak yang menikmati proses penyunatan bansos.

"Nanti juga terlacak siapa yang di belakang layar yang seakan-akan tidak tercantum di sebuah perusahaan pengadaan sembako, tapi sebenarnya dia adalah owner benefit, yaitu pemilik sesungguhnya yang menerima keuntungan," kata Boyamin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com