Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Menjaring Makna Kehidupan dari Marcus Aurelius Antoninus Augustus

Kompas.com - 14/07/2021, 09:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARANGKALI Marcus Aurelius Antoninus Augustus (26 April 121–17 Maret 180) adalah satu-satunya kaisar di dunia yang menulis sebuah buku penting untuk diwariskan pada umat manusia.

Selain simbol kebanggaan imperium Romawi, ia juga bukti nyata dari apa yang pernah diyakini filsuf Muslim, Alfarabi, dengan konsep Raja Filsufnya. Bisa jadi, Marcus pula yang menginspirasi tokoh penting dunia Islam itu sebelum ia menulis karyanya yang bertema politik, Madinah al Fadhilah.

Agak menarik mengamati tokoh dari Barat ini, mengingat Roma bertindak sebagai jembatan emas Zaman Aksial, menuju era keemasan peradaban Islam beberapa abad kemudian.

Zaman itu menjadi saksi kemunculan para bijak bestari sedari Aleksandria, Yunani, hingga Persia. Bentangan masanya berlangsung sejak 900-200 SM.

Sakyamuni, Luqman al Hakim, Hermes, Pythagoras, Euclid, Socrates, Plato, Aristoteles, Diogenes, Anaximenes, Anaximandros, Thales, merupakan persona yang turut mewarnai masa itu dengan gilang gemilang.

Saat ini kita memang hidup pada zaman jenius-ilmiah. Namun spiritualitas kita jauh tertinggal tinimbang mereka. Harus diakui, pada mereka lah kita mesti berguru dengan segenap kerendahan hati.

Aksial berakar kata dari “axios” yang bisa diartikan sebagai nilai. Pada zaman ini, sendi dan dasar keagamaan mulai dicari, untuk kemudian disusun menjadi satu aliran keagamaan murni.

Pemahaman itu bersifat menelusuri tujuan hidup secara transenden dengan yang ilahiah. Karena itulah mereka memiliki ilmu-pengetahuan mendalam tentang dunia, dengan terus bertanya terkait persoalan metafisika hingga fisika hidup manusia di alam raya.

Dalam suasana sebegitu rupa itulah, Marcus muncul ke permukaan dunia baru. Roma yang melanjutkan kiprah Yunani, tentu tak bisa lepas dari corak pendahulunya.

Membaca karya monumental yang ia wariskan, berjudul Meditations (Noura Books, 2021), kami membayangkan betapa bersahajanya kehidupan Marcus sebagai seorang kaisar dari imperium raksasa—yang menandingi kedigdayaan Persia di belahan timur.

Tapi selama Marcus bertakhta, kecil kemungkinan ia mau bersitegang dengan imperium lain. Hal itu bisa kita amini dengan mengamati catatannya yang berbunyi,

“Kita semua lahir untuk bekerja sama. Melawan satu sama lain adalah hal bertentangan dengan alam.”

Ia menolak bentuk perselisihan apa pun, terutama yang berlangsung di dalam dirinya sendiri. Marcus lebih senang menggunakan waktu yang ia miliki, untuk kepentingan yang jauh lebih maslahat.

Amatilah zaman yang sedang kita lintasi sekarang. Betapa teramat banyak kesia-siaan kita lakukan untuk memikirkan orang lain, yang bahkan tidak menjadi kebaikan bersama.

Kenapa kita harus kehilangan waktu dan kesempatan melakukan hal-hal lain yang lebih penting—terutama yang berkenaan dengan kebaikan diri sendiri?

Duaribu tahun lampau, Marcus telah menyadari itu, dengan menuliskan,

“Betapa sering dirimu mendapatkan kesempatan, tapi tidak menggunakannya. Padahal, ada batas waktu yang sudah ditetapkan untukmu. Jika kau tidak memanfaatkannya, maka waktu akan berlalu. Kau kan meninggalkan dunia ini dan kesempatan itu takkan kembali.”

Kita bisa saja meninggalkan hidup ini sekarang juga. Maka mengatur segala hal yang dipikirkan dan ingin dilakukan dengan baik, jelas menjadi sebuah keharusan.

Kematian adalah hal yang pasti, demikian juga kehidupan, ketenaran dan aib, rasa sakit dan kenikmatan, kekayaan dan kemiskinan. Semua itu terjadi pada semua orang. Apa pun keadaan-kenyataannya.

Kaisar Marcus berkata,

“Terima apa pun yang terjadi. Semua itu tertulis dalam suratan takdir. Nantikanlah kedatangan Sang Maut dengan gembira, seolah-olah itu tak lebih dari bubarnya elemen pembentuk makhluk hidup."

“Semuanya tidak kekal, baik yang mengingat maupun yang diingat. Tak perlu menakuti kematian, tetapi berbahagialah terhadapnya, karena kematian juga salah satu bagian dari kehendak alam raya,” pesan Marcus.

Mencermati kalimat tersebut, pasti Anda segera bisa memafhumi kesejajarannya dengan ajaran Islam dan khazanah luhur bangsa Nusantara. Seperti para mpu kita pada zaman lalu, dan wali agung Islam sepeninggal Rasulullah Saw, Marcus juga beroleh kesadaran yang sama tentang ketidakekalan kita sebagai makhluk.

Semua yang bernama ciptaan berada dalam kondisi menjadi dan terus menjadi. Karena itulah tak abadi.

Pengaruh Plato pada kedalaman renungannya, juga bisa kita tengarai dengan kalimat seperti ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com