Pertengahan Mei 2021, saya menyentuh Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Arsitektur yang agung langsung menyambut dengan senyum.
Seperti kembali ke rumah, begitu kata di kepala. Ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak seramai dahulu.
Beberapa teman mengabari, mereka tidak bisa menjemput, karena kesibukan. Di Bali, saya dijemput oleh sunyi.
Mungkin, ini ada baiknya. Saya berjalan ke parkiran motor, masih ditemani sunyi.
Beragam rasa muncul di dada. Ada sedih, namun ada secuil hening yang menemani.
Bali sedang bertapa. Ia sedang mengembalikan jiwa aslinya. Ini hanya mungkin, ketika pandemi menghantam, kerap tanpa ampun.
Berkendara di jalan-jalan besar Denpasar, ingatan saya kembali ke masa kecil. Ayah saya juga mencintai Bali.
Spontan, saya pun memilih untuk berkeliling. Saya memilih untuk mematikan peta elektronik, dan tersesat di kesunyian Denpasar dan Kuta.
Bali yang Penuh Kenangan
Jejak ingatan bersama ayah yang telah tiada memaksa air mata menetes. Kesunyian ini rupanya tak sepenuhnya kutuk. Ia membawa saya mengenang dengan indah jejak ayah saya di Pulau Dewata ini.
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saya mengunjungi tempat ini bersama keluarga. Keramaian dulu kini berubah menjadi sunyi yang membuat orang merenung.
Saya berhenti di warung untuk membeli camilan. Selesai, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Ubud.
Bali kini sunyi. Keindahannya tetap tak terkalahkan. Kesunyian ternyata tidak menciptakan kesedihan, tetapi justru keindahan yang berbalut keagungan.
Saya teringat, di 2018, saya berkunjung ke Ubud. Suasana begitu ramai.
Wisatawan asing mengepung Ubud dengan sangat ganas. Saya kesulitan untuk sekedar berjalan di trotoar. Saya merasa tidak seperti di Indonesia.