Mei 2021, keadaannya sungguh berbeda. Banyak toko tutup. Banyak hotel tutup.
Beberapa restoran masih buka. Tampak juga beberapa wisatawan sedang menghabiskan waktu bersama.
Siang datang menjemput, dan perut pun sudah mulai lapar. Perjalanan ternyata cukup panjang, dan melelahkan.
Di Bali, tak mungkin saya melewatkan babi guling yang ternama. Saya pun mencari tempat terdekat untuk menyantap babi guling sebagai makan siang.
Tak disangka, keadaan cukup ramai. Ada rasa syukur di hati. Setidaknya, sang pemilik restoran bisa bertahan sejenak di tengah ganasnya pandemi.
Seperti layaknya anak jaman now, saya memotret makanan saya, dan mengirimkannya ke beberapa teman. Tentunya, mereka merasa iri, bahkan ada yang tergoda untuk menyusul saya ke Bali.
Selesai makan, saya hening sejenak. Apa arti kesunyian ini bagi Bali?
Belajar dari Sang Sunyi
Selama bertahun-tahun, Bali dimanjakan oleh pariwisata. Uang datang begitu mudah dalam jumlah yang begitu banyak.
Ekonomi Bali tidak hanya memanas, tetapi juga membakar. Bali pun menjadi salah satu tujuan pariwisata yang paling populer di dunia.
Seperti segala hal di dunia, ada sisi gelap dari semua ini. Uang menjadi raja. Bahkan, hal-hal transendental, seperti keluarga dan agama, pun dinodai oleh kerakusan akan uang.
Kerakusan pun muncul. Beberapa teman bercerita tentang keluarga yang berkonflik, karena memperebutkan uang.
Saya sendiri beberapa kali mengalami. Ketika ingin bermeditasi di tempat-tempat suci Bali, uang harus dikeluarkan. Jumlahnya tidak kecil.
Sebelum pandemi, Bali tampak terpukau oleh kemilau dunia yang sementara. Harta dan kenikmatan menyelinap masuk ke dalam budaya dan spiritualitas Bali.