Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Greg Teguh Santoso
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

Bitcoin dan Kebebalan Ekologis

Kompas.com - 04/06/2021, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Bila Inggris harus mengeksploitasi separuh bumi untuk menjadi seperti sekarang, berapa banyak bumi yang akan diperlukan India?” (Mahatma Gandhi)

Booming cryptocurrency (matauang digital) ternyata memberikan ancaman bagi kelestarian bumi. Bukan tanpa sebab bila hal tersebut disuarakan salah satu orang terkaya dunia yang baru saja bercerai: Bill Gates.

Ancamannya berupa peningkatan pemanasan global yang berimbas pada perubahan iklim. Logikanya, untuk memproduksi mata uang kripto, Bitcoin misalnya, dibutuhkan komputer mumpuni guna memecahkan teka-teki algoritma matematis tingkat tinggi serta melibatkan jutaan pengguna dalam temali blockchain.

Ini membutuhkan konsumsi listrik tak sedikit. Kian banyak para penambang yang terlibat, kian besar energi yang dibutuhkan.

Merujuk riset yang pernah dilakukan Universitas Cambridge, konsumsi listrik yang dibutuhkan untuk menambang Bitcoin bisa mencapai 121,6 terawatt-hour (TWH) per tahun.

Sebagai pembanding, negara Argentina saja membutuhkan 121 TWH dan Belanda hanya butuh 108 TWH guna memenuhi kebutuhan listriknya dalam kurun duabelas bulan.

Gilirannya, kebutuhan energi listrik akan menghabiskan pula sumberdaya alam karena sebagian besar pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar fosil.

Selain itu, limbah berupa karbondioksida yang dilepas ke udara akan semakin banyak. Hal ini berdampak pada global warming yang memicu mencairnya es di kutub dan makin tingginya muka laut yang menenggelamkan daratan.

Pada akhir abad ini, perubahan iklim diprediksi dapat menyebabkan 73 kematian tambahan per seratus ribu orang.

Bandingkan, misalnya, dengan data kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat berdasar data bulan Agustus 2020 yang mencapai 14 kematian per seratus ribu orang atau lebih lima kali lipat!

Jelas, dampak perubahan iklim lebih ganas dari Covid-19.

Kecerdasan ekologis

Lebih satu dasawarsa lalu Daniel Goleman dalam bukunya Ecological Intelligence: The Hidden Impacts of What We Buy, mendaraskan kecerdasan ekologis (ecological intelligence) sebagai kapasitas untuk mengenali jejaring tersembunyi yang menghubungkan aktivitas manusia dan sistem alam, serta kompleksitas persimpangan di antaranya yang tidak jelas-jelas terlihat.

Istilah ini meliputi juga kemampuan naturalis asli untuk mengategorikan dan mengenali pola hingga penerapan lensa disiplin lintas ilmu terhadap sistem alam nan dinamis ketika kita menjalankan aktivitas dalam skala apapun, mulai dari tingkat molekuler hingga global.

Kecerdasan ekologis membuat kita mampu menerapkan apa yang kita pelajari mengenai berbagai akibat atau dampak aktivitas manusia terhadap ekosistem sehingga dapat mengurangi kerusakan dan sebaliknya memampukan kita untuk hidup berkesinambungan (sustainable).

Hanya kepekaan menyeluruh seperti itulah yang akan memampukan kita melihat dan memahami keterkaitan antara tindakan kita beserta dampak tersembunyi (disengaja maupun tidak) yang ditimbulkannya terhadap lingkungan, bumi tempat berpijak, kesehatan kita, dan sistem sosial dimana kita hidup.

Kecerdasan ekologis memadukan keterampilan kognitif tersebut dengan empati terhadap segala bentuk kehidupan, menunjukkan empati tersebut saat merasa sedih melihat tanda-tanda “penderitaan” bumi.

Beranjak dari empati yang meluas ini bakal meningkatkan kemampuan dan kemauan analitis rasional terhadap segala unsur penyebab dan memengaruhi motivasi untuk mengulurkan tangan.

Ironisnya, kaum milenial saat ini menjadi garda depan dalam berbagai upaya penambangan mata uang kripto beserta turunannya yang eksploitatif nan konsumtif.

Di sisi lain, kaum milenial jualah yang giat menggelorakan semangat ekonomi sirkular (circular economy) guna memanfaatkan limbah dan mengurangi berbagai bentuk pencemaran lingkungan.

Kontras realitas di atas kian menggelitik bila kita bertanya: mengapa?

Kedunguan ekologis?

Guna menjawabnya, hendak tak hendak kita mesti masuk dalam refleksi kritis kekinian. Era digital 4.0 merevolusi nyaris seluruh sendi kehidupan manusia, diakselerasi dan makin kompleks dengan pandemi Covid-19.

Dalam level kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya, era digital memaksa manusia tunggang langgang bersama tsunami informasi. Manusia seolah dihadapkan hanya pada dua pilihan: ikut bersicepat atau mati.

Beragam peristiwa baik berskala global, nasional, maupun lokal mendera kita silih berganti, nyaris tiada henti melalui beragam kanal teknologi informasi saat ini.

Belum lagi peristiwa-peristiwa keseharian yang lebih bernuansa personal atau keluarga. Di tengahnya, kita kerap kali dikepung berbagai macam godaan iklan yang menawarkan kemudahan, kemewahan, dan kenikmatan hidup. Kita makin pengap, seolah tiada jenak untuk menghirup nafas sembari melemaskan syaraf.

Dalam konteks masyarakat kita saat ini, terjadi kompetisi telanjang antara pemenuhan kemajuan ekonomi dan tuntutan kebutuhan rohani serta sosial.

Terjadi banyak paradoks, antara kesalehan batin dan keserakahan hedonis, antara lagak-laku keseharian dengan jargon-jargon retorika nan idealis.

Fenomena tersebut justru diperparah oleh faktor amplifikasi media sosial nan tak terperi. Umat manusia, terkhusus kaum milenial, tak lagi hidup di dunia fisikal saja melainkan juga di jagat digital.

Kecanggihan DNA (Device, Network, Apps) sebagai anak kandung era digital memudahkan manusia berjejaring, eksistensi kita beralih dalam jejaring dunia maya.

Internet of Things (IoT) dan algoritma big data mempercepat terbentuknya hyperconnected society, masyarakat saling terhubung.

Kesaling-terhubungan ini mendisrupsi cara manusia berkarya dan mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan (needs) maupun keinginannya (wants).

Pada titik inilah, kita perlu melihat secara kritis fenomena tersebut melalui pisau analisa logika waktu pendek.

Merujuk pada pemikiran Ernest Gellner bahwa legitimasi masyarakat modern saat ini amat tergantung pada kemakmuran (atau keberpunyaan?) dan pertumbuhan ekonomi.

Segala sesuatunya cenderung diukur dari perspektif ekonomi, akibatnya, kegunaan diacu sebagai nilai tertinggi sedangkan nilai-nilai lain dinomorduakan.

Artinya, segala sesuatu senantiasa ditimbang dari segi ada manfaatnya atau tidak. Tak pelak, kearifan lama “berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian” tak lagi dikenal.

Yang justru mengemuka adalah “secepat mungkin pergi ke hulu untuk bersenang-senang”.

Akibatnya, ketabahan masyarakat dalam menunda kepuasan hidup telah sirna. Dengan beragam jaring kemudahan dunia digital yang ditebarkan, masyarakat dijebak dalam rawa-rawa konsumerisme.

Pengendalian diri -yang merupakan salah satu satu aspek penting dari asketisme- telah dilecehkan.

Kegigihan dan disiplin yang membangun tatanan masyarakat moderen bentrok dengan hasrat mencari kesenangan dan kecenderungan instant success.

Inilah buah percumbuan manis antara maraknya digitalisasi yang dirasuki roh kapitalisme dalam kelindan api semangat konsumerisme tanpa jeda.

Tak berlebihan bila dinyatakan bahwa logika asketisme duniawi ibaratnya belati yang menghujam ke dada sendiri sebagaimana pernah diperingatkan Weber lebih seabad lampau yang relevan hingga kini.

Awalnya agama memang membantu mengembangkan kapitalisme. Namun pada akhirnya kapitalisme sendiri membuka kotak pandora bagi kehancuran religiusitas. Asketisme (baca: kapitalisme) berusaha mencari Tuhan, tetapi malah menciptakan setan.

Perkembangan sejarah kapitalisme pun memasuki suatu ironi peradaban. Rasionalitas kapitalisme menghasilkan self sufficient dan self sustaining.

Rasionalitas berubah menjadi irrasionalitas. Manusia kini pun terjebak pada absurditas kehidupan. Etos kerja puritan yang bermaksud mencapai peradaban tinggi justru menggiring manusia ke lembah dehumanisasi.

Asketisme dan puritanisme bukannya meningkatkan kualitas hidup nan humanis, melainkan memerosotkan akhlak dan moralitas karena digerogoti tuntutan perkembangan ekonomi yang terus-menerus mentransformasikan diri.

Absurditas inilah yang bila kita baca dalam konteks kecerdasan ekologis telah berpaling menjadi kedungunan ekologis yang tamak mengorbankan segala demi pemenuhan nafsu sesaat akan aneka keinginan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Tren
Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Tren
5 Potensi Efek Samping Minum Susu Campur Madu yang Jarang Diketahui

5 Potensi Efek Samping Minum Susu Campur Madu yang Jarang Diketahui

Tren
5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

Tren
8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

Tren
UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

Tren
Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Tren
Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Tren
Ini yang Terjadi pada Tubuh Ketika Anda Latihan Beban Setiap Hari

Ini yang Terjadi pada Tubuh Ketika Anda Latihan Beban Setiap Hari

Tren
Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka Besok, Berikut Link, Jadwal, Formasi, dan Cara Daftar

Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka Besok, Berikut Link, Jadwal, Formasi, dan Cara Daftar

Tren
Ramai soal Ribuan Pendaki Gagal 'Muncak' di Gunung Slamet, PVMBG: Ada Peningkatan Gempa Embusan

Ramai soal Ribuan Pendaki Gagal "Muncak" di Gunung Slamet, PVMBG: Ada Peningkatan Gempa Embusan

Tren
Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Minum Teh Selama Sebulan?

Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Minum Teh Selama Sebulan?

Tren
Bisakah Hapus Data Pribadi di Google agar Jejak Digital Tak Diketahui?

Bisakah Hapus Data Pribadi di Google agar Jejak Digital Tak Diketahui?

Tren
Berapa Lama Jalan Kaki untuk Ampuh Menurunkan Kolesterol?

Berapa Lama Jalan Kaki untuk Ampuh Menurunkan Kolesterol?

Tren
Tragedi Biaya Pendidikan di Indonesia

Tragedi Biaya Pendidikan di Indonesia

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com