Pada Mei 1796, seorang gadis dari perusahaan susu, Sarah Nelmes, berkonsultasi dengan Jenner tentang ruam di tangannya.
Dia mendiagnosis bahwa ruam itu akibat salah satu sapi Gloucester yang sebelumnya menderita cacar sapi.
Cacar adalah peyakit yang menyebabkan banyak kematian masa itu, terutama di antara anak-anak.
Dari kasus ini, Jenner mulai menguji sifat perlindungan cacar sapi dengan memberikannya kepada seseorang yang belum pernah menderita cacar.
Melansir BBC, Jenner melakukan eksperimennya pada seorang anak berusia delapan tahun bernama James Phipps.
Jenner memasukkan nanah yang diambil dari pustula cacar sapi dan memasukkannya ke dalam sayatan di lengan bocah itu.
Dia menguji teorinya, yang diambil dari cerita rakyat pedesaan, bahwa gadis pemerah susu yang menderita penyakit ringan cacar sapi tidak pernah tertular cacar.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Adolf Hitler Meninggal Bunuh Diri Usai 36 Jam Menikah
Jenner kemudian membuktikan bahwa setelah diinokulasi dengan cacar sapi, Phipps kebal terhadap cacar.
Atas eksperimennya, Jenner menyerahkan makalah ke Royal Society pada 1797.
Dia pun mencoba eksperimen yang sama pada beberapa anak lain, termasuk putranya sendiri yang masih berusia 11 bulan.
Ia pun berhasil membuktikan bahwa eksperimennya terhadap cacar sapi mampu melindungi manusia dari penyakit cacar.
Pada 1798, hasil akhir eksperimennya dipublikasikan dan muncullah istilah dalam bahasa Latin 'vacca' yang kemudian dikenal dengan vaksin.
Kaum antivaksin rupanya sudah ada sejak awal mula terciptanya vaksin. Orang-orang takut akan risiko dan menentang vaksin atas dasar agama.
Pada masa itu, memang belum banyak yang memahami infeksi. Sampel cacar sapi sering kali terkontaminasi oleh penyakit cacar itu sendiri.
Ada ketakutan bahwa vaksin cacar sapi tidak lebih aman daripada inokulasi cacar.