KOMPAS.com - Mutasi virus corona N439K yang sudah terdeteksi di 30 negara, disebut lebih "pintar" dari mutasi virus corona sebelumnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith Univeristy Australia, Dicky Budiman, mengatakan, mutasi virus ini merupakan mutasi dari varian virus corona yang terdeteksi pertama kali Inggris.
Ia mengingatkan, kemunculan mutasi N439K merugikan dan berbahaya.
Salah satu kemampuan N439K yang patut diwaspadai adalah mutasi ini dapat menurunkan efikasi vaksin Covid-19.
Efikasi atau kemanjuran adalah kemampuan suatu vaksin dalam mencegah penyakit dalam keadaan ideal dan terkontrol, dengan membandingkan kelompok yang divaksin dengan kelompok tidak divaksin/placebo.
Seperti diketahui, pemerintah saat ini masih melangsungkan vaksinasi yang menyasar ke 30 juta penerima vaksin.
Baca juga: Mengenal Apa Itu N439K, Varian Baru Virus Corona yang Disebut Kebal terhadap Vaksin
Dicky menjelaskan, dengan kemampuan mutasi N439K menurunkan efikasi vaksin, varian ini bisa menyiasati atau menghindari antibodi.
"Menurunkan efikasi berarti bisa jadi tidak efektif vaksinnya, bisa jadi harus dimodifikasi vaksinnya, diganti vaksinnya atau messenger RNA," ujar Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (13/3/2021).
Ia mengatakan, untuk memodifikasi vaksin yang berbasis m-RNA dibutuhkan waktu sekitar 6 minggu.
Sementara itu, untuk vaksin dengan basis selain m-RNA, membutuhkan waktu lebih lama lagi, bahkan harus dibuat ulang untuk mampu memerangi mutasi N439K.
"Seperti vaksin merek Sinovac dan lainnya harus bikin lagi, jadi merugikan, sangat merugikan," ujar Dicky.
"Oleh karena itulah, makanya perlu sekali adanya pengendalian pandemi, sehingga virusnya enggak leluasa bermutasi," lanjut dia.
Menurut Dicky, vaksin Sinovac dan Sinopharm (asal China), AstraZeneca, dan Sputnik V (asal Rusia) belum dapat mengatasi mutasi N439K.
Ia mengatakan, vaksin yang mampu melawan mutasi N439K adalah Moderna dan Pfizer.
Sebab, dua vaksin ini berbasis m-RNA.
Baca juga: Segala Hal yang Perlu Diketahui tentang Mutasi Virus Corona N439K