Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir di Indonesia, Benarkah karena Curah Hujan dan Cuaca Ekstrem?

Kompas.com - 20/01/2021, 07:31 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bencana banjir dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Selain banjir Kalimantan Selatan (Kalsel) yang cukup parah, banjir juga melanda kawasan puncak Bogor, jawa Barat pada Selasa (19/1/2021) pukul 09.30 WIB.

Sehari sebelumnya, hujan dengan intensitas tinggi disertai struktur tanah yang labil menyebabkan banjir yang berdampak pada 4 Kecamatan di Kota Malang pada Senin (18/1) pukul 17.00 WIB.

Baca juga: Banjir Kalsel, Meluasnya Lahan Sawit, dan Masifnya Pertambangan...

Adapun wilayah yang terdampak, yaitu Kecamatan Klojen, Kecamatan Sukun, Kecamatan Lowokwaru, dan Kecamatan Kedungkandang.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang melaporkan tinggi mata air antara 20-50 sentimeter.

Di hari yang sama, ratusan rumah di Cirebon JUGA dilanda banjir setinggi 50 sentimeter hingga 1 meter pada Senin (18/1/2021). Titik genangan ada di Kecamatan Plered, Klangenan, Arjawinangun, Kapetakan dan Suranenggala.

Baca juga: Hasil Analisis Lapan soal Penyebab Banjir Besar di Kalimantan Selatan

Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah pada Senin (18/1) pukul 19.00 WIB.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pekalongan mencatat tinggi muka air berkisar 5-80 sentimeter yang berdampak pada empat kecamatan, antara lain Kecamatan Tirto, Kecamatan Sragi, Kecamatan Siwalan, dan Kecamatan Kedungwuni.

Baca juga: UPDATE Banjir Kalsel: Kebutuhan Mendesak Logistik dan 3.571 Rumah Masih Terendam

Lantas, apa yang menjadi penyebab maraknya banjir di sejumlah wilayah di Indonesia?

Curah hujan tinggi dan topografi

Banjir Bandang di Puncak Bogor Jawa Barat Selasa (19/1/2021).KOMPAS.COM/AFDHALUL IKHSAN Banjir Bandang di Puncak Bogor Jawa Barat Selasa (19/1/2021).

Ahli Hidrologi dan Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Pramono Hadi mengatakan, maraknya banjir di Indonesia salah satunya akibat pengaruh iklim periodik La Nina dan topografi.

"Ini kan La Nina, kebetulan curah hujannya tinggi, itu faktor utamanya. Tetapi selain itu ada faktor lain lagi, yaitu topografi," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (19/1/2021).

La Nina merupakan anomali sistem global yang cukup sering terjadi dengan periode ulang berkisar antara dua sampai tujuh tahun.

Baca juga: 5 Daerah yang Dilanda Banjir pada Awal 2021, Mana Saja?

Kejadian La Nina terjadi saat Samudera Pasifik dan atmosfer di atasnya berubah dari keadaan netral (normal) pada periode waktu dua bulan atau lebih

Dampak utama dari fenomena La Nina ke cuaca atau iklim di Indonesia yakni timbulnya peningkatan curah hujan.

Kendati demikian, kondisi topografi di Indonesia yang berbeda-beda, maka dampak La Nina pun tidak seragam di seluruh wilayah. Hal itu terlihat pada kondisi dataran di wilayah Kalsel.

"Kalimantan itu terkenal daerahnya datar, sehingga kalau ada genangan wajar kalau kemudian kota-kota besar di Kalimantan itu selalu kena banjir," terang Pramono.

Baca juga: Analisis BMKG soal Cuaca Ekstrem Januari-Februari 2021...

Ia menjelaskan mengenai perbedaan genangan dan banjir.

Untuk daerah Kalsel, dikategorikan sebagai banjir genangan, karena meski ada aliran air, tetapi ketinggian airnya cenderung naik dan menyebabkan genangan banjir.

Berbeda dengan banjir bandang yang biasa terjadi di daerah yang curam, dekat tebing, datangnya mendadak, biasanya disertai longsor.

Contohnya seperti yang terjadi di Bogor, Selasa (19/1/2021) pagi.

Baca juga: Hadapi Cuaca Ekstrem, Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?

Penyimpanan air

Suasana banjir hari ke-12 di Dusun Beluk, Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (12/1/2021).KOMPAS.COM/MOH. SYAFIÍ Suasana banjir hari ke-12 di Dusun Beluk, Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (12/1/2021).

Pramono menjelaskan bahwa alam secara alami memiliki storege, atau penyimpanan air.

Penyimpanan air dapat berupa waduk, sungai, dan hutan.

Khusus untuk hutan, sistem penyimpanannya bersifat sponge atau menyerap.

Baca juga: Mengenal Sabo Dam, Solusi Penanggulangan Banjir Lahar Gunung Merapi...

 

Pramono juga menambahkan bahwa ceruk bekas tambang juga dapat dimanfaatkan sebagai penampung air hujan.

"Bekas galian atau ceruk-ceruk tambang itu dapat digunakan untuk menyimpan air, seharusnya, tetapi tambang itu dapat menyebabkan faktor atau hal lain, yaitu longsor," katanya.

Terkait perluasan lahan sawit dan pertambangan sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan, Pramono tidak dapat menyimpulkan karena butuh kajian mendalam.

"Memang karakteristik topografinya sangat mendukung, buruh riset yang menjelaskan prosesnya. ini karena penggundulan hutan, belum tentu. Butuh kajian yang mendalam untuk bisa menyimpulkan itu," katanya lagi.

Baca juga: Melihat Cara Belanda Mengatasi Banjir...

Hasil kajian

Sementara itu, koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Edo Rakhman menjelaskan bahwa ada banyak kajian mengenai deforestasi atau tutupan hutan beserta segala aspeknya yang berdampak pada hilangnya struktur dan fungsi hutan.

"Beberapa kawan-kawan kelompok masyarakat sipil itu sudah sering melakukan kajian, dan memang laju deforestasi kita masih cukup tinggi," katanya saat dihubungi terpisah Kompas.com, Selasa (19/1/2021).

Walhi mencatat dari 3,7 hektar lahan Kalsel setengahnya dikuasai tambang dan sawit. Sampai saat ini ada 817 lubang galian milik 157 perusahaan tambang.

Baca juga: Ramai soal Harga Saham ANTM, Berikut Profil dari Aneka Tambang (Antam)...

5 Rumah Warga Porak-Poranda Diterjang Longsor dan Banjir BandangKOMPAS.COM/JUNAEDI 5 Rumah Warga Porak-Poranda Diterjang Longsor dan Banjir Bandang

Hal ini sejalan dengan analisis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengenai penyebab banjir yang melanda wilayah provinsi Kalsel.

Lapan menyebutkan penyempitan kawasan hutan atau tutupan lahan meningkatkan risiko banjir.

Berdasarkan data Lapan 2010-2020, terjadi penyusutan luas hutan primer sebanyak 13.000 hektar, hutan sekunder 116.000 hektar, sawah 146.000 hektar, dan semak belukar sebanyak 47.000 hektar.

Baca juga: Walhi Pertanyakan Konsep Forest City Pemerintah untuk Ibu Kota Baru

Laporan tahunan Walhi pada 2020 juga mengkaji mengenai tren kenaikan kejadian bencana hidrometeorologi yang terjadi akibat interaksi dan pengaruh parameter meteorologi (cuaca, kelembapan, suhu, awan, angin, penguapan, hujan, penyinaran) sangat erat kaitannya dengan isu perubahan iklim.

Pada 2018, BNPB mencatat terjadi 2.572 kejadian bencana, pada 2019 sebanyak 3.768 kejadian bencana, dan pada 2020 sebanyak 2.925 kejadian bencana.

Adapun di awal tahun, terjadi bencana yang cukup ekstrem.

Baca juga: 5 Bencana di Awal 2021, dari Longsor Sumedang hingga Erupsi Gunung Semeru

Edo menilai bencana seperti banjir dan tanah longsor berkaitan dengan daya dukung ekosistem.

"Bagi kami di WALHI, bahwa semua kejadian baik itu banjir maupun tanah longsor itu pasti ada kaitannya dengan daya dukung ekosistem sebagai penyangga di wilayah masing-masing," katanya.

Solusi penanganan banjir

Rumah warga yang terendam banjir, BPBD Kabupaten Cirebon masih mendata rumah warga di beberapa kecamatan yang terendam banjir, Senin (18/1/2021). ANTARA/Khaerul Izan Rumah warga yang terendam banjir, BPBD Kabupaten Cirebon masih mendata rumah warga di beberapa kecamatan yang terendam banjir, Senin (18/1/2021).

Pramono menyarankan solusi atau penanganan dengan cara adaptasi, seperti membangun rumah panggung.

Sementara untuk mitigasi, dengan pembangunan bendung dinilai belum mampu secara ekonomi.

"Dalam kondisi rata-rata sebenarnya dengan adaptasi, bukan mitigasi. Kalau mitigasi itu cost-nya untuk Indonesia yang secara ekonomi belum cukup bagus," imbuh dia.

Baca juga: Mengapa Bandung Kerap Diterjang Banjir?

Ia menambahkan bahwa sistem kehutanan memang berpengaruh, tetapi tidak dapat menghadapi curah hujan yang tinggi.

"Sistem kehutanan itu ya berpengaruh tetapi dengan curah hujan yang begitu tinggi itu dia tidak bisa apa-apa sebenarnya," tambahnya.

Pernyataan tersebut dibantah oleh Edo. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang selalu menyalahkan curah hujan.

"Kami menyayangkan juga kenapa pemerintah, kasarnya, selalu menyalahkan bahwa itu karena curah hujan tinggi, cuaca ekstrem dan seterusnya," tutur Edo.

Baca juga: Mengenal Petrichor, Aroma yang Ditimbulkan Saat Hujan Turun

Curah hujan, menurut Edo memang ada pengaruhnya. Namun bencana semacam ini dapat diminimalisir dengan memelihara ekosistem penyangga.

"Betul itu memang pasti ada hubungannya, tetapi kalau bicara konteks kehidupan manusia yang ada saat ini di mana pun kita selalu bergantung pada wilayah penyangga," katanya.

Ekosistem penyangga yang ia maksud ialah wilayah hutan primer, hutan skunder, sungai, dan wilayah resapan lainnya.

Wilayah tersebut perlu dipelihara dan dijaga agar tidak dialihfungsikan untuk kepentingan bisnis.

Baca juga: Kapan Musim Kemarau 2020 Berakhir dan Musim Penghujan di Indonesia Dimulai?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com