Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

98 Persen Bencana Dipicu oleh Hidrometeorologi, BNPB Ingatkan Mitigasi

Kompas.com - 18/01/2021, 08:05 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan bahwa Indonesia berada di kawasan yang memiliki risiko tinggi terjadinya bencana. 

Bahkan data dari BNPB dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan 98 persen kejadian bencana dipicu oleh faktor hidrometeorologi.

"Dampak yang dihasilkan adalah banjir, banjir bandang, tanah longsor, cuaca ekstrem dan gelombang laut," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Kapusdatinkom) BNPB Raditya Jati saat diwawancarai Kompas.com, Minggu (17/1/2021).

Baca juga: Gunung Semeru Meletus, Ini Update Status Gunung Api di Indonesia

Bencana hidrometeorologi dan faktor geologi

Di samping bencana hidrometeorologi, Raditya juga menyebut banyak kejadian bencana di Indonesia yang disebabkan oleh faktor geologi.

Misalnya seperti gunung meletus, gempa bumi, serta gempa bumi yang berimbas pada munculnya gelombang tsunami.

Dikatakan Radit, walaupun bencana hidrometeorologi frekuensinya cukup sering, namun korban jiwa justru lebih banyak saat terjadi bencana dari faktor geologi.

"Kalau kami perhatikan dampak korban yang paling besar adalah kejadian bencana dari faktor geologi. Misalnya gempa bumi, kejadiannya lebih cepat dan dampaknya bisa besar," kata dia.

Oleh karena itu, Radit meminta masyarakat untuk selalu waspada dan sadar bahwa Indonesia memiliki risiko bencana yang tidak kecil.

"Kita harus sadar bahwa kita berada di kawasan risiko bencana dan kita harus siap menghadapi itu dan harus siap untuk selamat," sambung Radit.

Baca juga: BMKG: Puncak Musim Hujan, Ini Daerah-daerah yang Berpotensi Banjir

Banjir dan tanah longsor

Dalam beberapa waktu ini, bencana banjir dan tanah longsor sempat melanda sejumlah wilayah di Indonesia.

Pemerintah, lanjut Radit, sejatinya telah membahas persoalan tersebut sebelum banjir dan tanah longsor benar-benar menerjang beberapa wilayah Indonesia.

"Sebetulnya sejak akhir tahun lalu sudah dibahas di ratas (rapat terbatas) presiden juga. Saat itu kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) sudah menyampaikan bahwa ada dampak La Nina yang bisa berdampak sampai Februari nanti," jelasnya.

Dia menambahkan, fenomena La Nina tersebut akan berdampak pada intensitas hujan yang cukup tinggi yang memicu pada bencana seperti halnya banjir dan tanah longsor.

Baca juga: Gunung Semeru Meletus, BNPB: Waspadai Potensi Banjir Lahar Dingin

Pemetaan wilayah mana saja yang akan diterjang banjir dan tanah longsor, terang Radit, sejatinya sudah terpetakan di situs inarisk.bnpb.go.id.

"Kami bersama kementerian/lembaga dan pemerintah daerah telah berbagi informasi di situs inaRISK," ujar Radit.

"Peta risiko banjir, itu sudah ada dan kelihatan di wilayah mana saja yang memiliki potensi banjir kalau intensitas hujan tinggi termasuk juga longsor. Nah kita ketahui, wilayah yang kemarin terdampak longsor, banjir, itu sebenarnya sudah ada di peta risiko," imbuhnya.

Ring of fire

Selain itu, tambah Radit, Indonesia juga terhimpit oleh tiga lempeng tektonik yang setiap hari melakukan pergerakan.

Adapun ketiganya, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.

"Kalau dilihat dari peta seismisitas atau kegempaan kita itu cukup banyak. Sebulan bisa ribuan, itu fenomena alam," jelas Radit.

Baca juga: Analisis BMKG soal Pemicu Gempa Majene dan Potensi Gempa Susulan

Namun, lanjutnya, apabila kegempaan tersebut berdampak pada kerusakan, maka selayaknya disebut dengan bencana.

Serupa dengan letusan gunung berapi.

Apabila gunung api terjadi erupsi namun tidak menimbulkan kerusakan apa-apa, maka tidak bisa disebut dengan bencana alam.

"Bilamana letusan itu berdampak pada korban jiwa kemudian warga harus diungsikan, ada kerusakan infrastruktur, itu disebut bencana," kata Radit.

Baca juga: BNPB Ingatkan Masyarakat Waspadai Cuaca Buruk

Mitigasi bencana

Radit mengungkapkan, masyarakat bersama-sama pemerintah diharapkan dapat bersinergi dalam melakukan upaya-upaya agar kejadian bencana tidak menimbulkan korban jiwa.

Adapun upaya-upaya itu, terang Radit, adalah pencegahan dan mitigasi.

"Contohnya gempa bumi, sebenarnya tidak mematikan. Tetapi karena gempanya itu merusak struktur dan kita berada di bawah struktur, maka harus ada upaya agar struktur bangunan tidak roboh saat gempa dan tidak menimbulkan korban," ucap Radit.

Bukan hanya itu, Radit juga menyampikan bahwa masyarakat perlu mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.

Baca juga: 5 Bencana di Awal 2021, dari Longsor Sumedang hingga Erupsi Gunung Semeru

Maka dari itu, diperlukan edukasi, pelatihan dan simulasi yang dilakukan secara konstan.

"BNPB tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Masalah mitigasi ini sebenarnya sudah kita angkat melalui sekolah-sekolah. Bersama Kemendikbud sejak 2012 kita punya program yang disebut satuan pendidikan aman bencana," terangnya.

Mengapa menyasar anak-anak, alasannya, kata Radit, karena anak-anak dapat menjadi agent of change terutama bagi keluarganya.

Selain itu, dengan mengajarkan sadar bencana sejak dini kepada anak-anak, harapannya bekal itu bisa dibawa kemana pun mereka berada.

"Intinya, sekarang kita harus mulai sadar bahwa pencegahan dan mitigasi adalah hal yang paling penting untuk kita lakukan sebelum terjadinya bencana," papar Radit.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Tingkatan Status Gunung Berapi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Suhu di Semarang Disebut Lebih Panas dari Biasanya, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Suhu di Semarang Disebut Lebih Panas dari Biasanya, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Tren
Selalu Merasa Lapar Sepanjang Hari? Ketahui 12 Penyebabnya

Selalu Merasa Lapar Sepanjang Hari? Ketahui 12 Penyebabnya

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

Tren
7 Gejala Stroke Ringan yang Sering Diabaikan dan Cara Mencegahnya

7 Gejala Stroke Ringan yang Sering Diabaikan dan Cara Mencegahnya

Tren
Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana, Izin Kendaraan Mati, Pengusaha Harus Dipolisikan

Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana, Izin Kendaraan Mati, Pengusaha Harus Dipolisikan

Tren
8 Tanda Batu Ginjal dan Cara Mencegahnya

8 Tanda Batu Ginjal dan Cara Mencegahnya

Tren
400 Produk Makanan India Ditandai Mengandung Kontaminasi Berbahaya

400 Produk Makanan India Ditandai Mengandung Kontaminasi Berbahaya

Tren
Kecelakaan Maut Rombongan SMK di Subang dan Urgensi Penerapan Sabuk Pengaman bagi Penumpang Bus

Kecelakaan Maut Rombongan SMK di Subang dan Urgensi Penerapan Sabuk Pengaman bagi Penumpang Bus

Tren
'Whistleblower' Israel Ungkap Kondisi Tahanan Palestina, Sering Alami Penyiksaan Ekstrem

"Whistleblower" Israel Ungkap Kondisi Tahanan Palestina, Sering Alami Penyiksaan Ekstrem

Tren
9 Negara Tolak Palestina Jadi Anggota PBB, Ada Argentina-Papua Nugini

9 Negara Tolak Palestina Jadi Anggota PBB, Ada Argentina-Papua Nugini

Tren
Vasektomi Gratis dan Dapat Uang Imbalan, Ini Penjelasan BKKBN

Vasektomi Gratis dan Dapat Uang Imbalan, Ini Penjelasan BKKBN

Tren
Pendaftaran CPNS 2024 Diundur hingga Juni 2024, Ini Alasan Kemenpan-RB

Pendaftaran CPNS 2024 Diundur hingga Juni 2024, Ini Alasan Kemenpan-RB

Tren
Profil Jajang Paliama, Mantan Pemain Timnas yang Meninggal karena Kecelakaan

Profil Jajang Paliama, Mantan Pemain Timnas yang Meninggal karena Kecelakaan

Tren
Dampak Badai Magnet Ekstrem di Indonesia, Sampai Kapan Terjadi?

Dampak Badai Magnet Ekstrem di Indonesia, Sampai Kapan Terjadi?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com