Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beragam Hal yang Perlu Diketahui Terkait Omnibus Law, Apa Saja?

Kompas.com - 04/10/2020, 15:15 WIB
Retia Kartika Dewi,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR telah menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Sabtu (3/10/2020) malam.

Hasil rapat itu membuat RUU Omnibus Law Cipta Kerja kini tinggal selangkah lagi menjadi UU.

Rencananya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan dibahas dalam Rapat Paripurna yang dilaksanakan pada 8 Oktober 2020.

Diketahui, RUU Omnibus Law Cipta Kerja memuat 11 klaster, antara lain:

1. Penyederhanaan perizinan tanah
2. Persyaratan investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
5. Kemudahan berusaha
6. Dukungan riset dan inovasi
7. Administrasi pemerintahan
8. Pengenaan sanksi
9. Pengendalian lahan
10. Kemudahan proyek pemerintah
11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Baca juga: 7 Tuntutan Buruh Terkait RUU Cipta Kerja

Apa saja yang perlu diketahui mengenai omnibus law?

Melansir pemberitaan Kompas.com, 18 Februari 2020, omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Diketahui, ada tiga yang disasar pemerintah, yakni Perpajakan, Cipta Kerja, dan Pemberdayaan UMKM.

Sejatinya, omnibus law lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi. Kendati begitu, yang menjadi polemik yakni RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Polemik ini tidak hanya berpengaruh bagi mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik, melainkan pekerja swasta dan BUMN.

Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, KSPI: Bohong Kalau Omnibus Law Disahkan Mampu Selesaikan Resesi

Berikut beberapa hal terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja:

Cuti panjang karyawan tidak lagi diatur

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 15 Februari 2020, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan soal ketenagakerjaan, salah satunya soal cuti panjang.

Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 79, pemerintah menjelaskan secara detail soal cuti panjang atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun di perusahaan yang sama.

Sebelumnya, cuti panjang yang diatur adalah sekitar 2 bulan pada tahun ketujuh hingga tahun ke delapan masing-masing 1 bulan tiap tahunnya.

UU tersebut pun mengatur secara jelas peraturan soal istirahat panjang yang dibuat dalam beberapa poin khusus.

Namun, dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja, peraturan cuti tahunan tidak lagi diatur secara khusus.

Oleh karena itu, perusahaan dapat memberikan cuti panjang kepada karyawannya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama.

Baca juga: Kepala BKPM: Omnibus Law Cipta Kerja Bisa Kurangi Pungli

Pesangon bagi pekerja yang kena PHK menyusut

Pemerintah dan DPR menyepakati pengurangan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui klaster ketenagakerjaan di omnibus law RUU Cipta Kerja.

Diberitakan Kompas.com, Sabtu (3/10/2020), pemerintah mengusulkan penghitungan pesangon PHK diubah menjadi 19 kali upah ditambah 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sehingga totalnya menjadi 25 kali upah.

Padahal, di dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, pesangon PHK diatur maksimal hingga 32 kali upah.

JKP sepenuhnya dikelola oleh pemerintah, yang sekaligus memberikan manfaat berupa upscalling dan upgrading bagi pekerja yang di-PHK.

Besaran pesangon PHK pekerja di Indonesia dinilai terbilang besar jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Vietnam dan Malaysia. Hal ini dinilai menyebabkan investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.

Baca juga: Jokowi Sebut Omnibus Law Munculkan Budaya Bebas Korupsi

Status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi

Salah satu pasal yang disorot adalah Pasal 59 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membahas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Rencananya, jika RUU Omnibus Law disahkan, maka pasal tersebut akan dihapuskan.

Hal ini berdampak pada tenaga kerja. Artinya, tidak ada kejelasan dan status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi.

Dilansir Kompas.com, 6 Maret 2020, Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif utnuk Demokrasi (Sindikasi), Ikhasan Raharjo, mengatakan Indonesia akan melahirkan generasi pekerja muda yang rentan dan juga mudah dieksploitasi dalam kondisi kerja yang buruk.

"Ketika mereka masuk dalam dunia kerja, mereka akan dihadapkan dengan sebuah ketidakpastian dalam bentuk status hubungan kerja yang kontrak," ujar Ikhsan.

Baca juga: Tumpang Tindih Perizinan di Daerah menjadi Awal Munculnya Omnibus Law

Disebut mudahkan Investasi

Menurut pemberitaan Kompas.com, 2 Oktober 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan Indonesia memerlukan adanya dorongan dari pemerintah dan penambahan investasi.

Ia pun meminta agar Omnibus Law segera disahkan guna mendongkrak investasi dengan berfokus pada pengembangan sektor infrastruktur.

Luhut mengungkapkan, alasan didorongnya Omnibus Law dilatarbelakangi untuk menarik Abu Dhabi mau berinvestasi di Indonesia.

Selain itu, investasi dari negara-negara Islam seperti Arab dan Afrika di Indonesia jumlahnya dinilai cukup signifikan.

(Sumber: Kompas.com/Muhammad Idris, Fika Nurul Ulya, Ade miranti Karunia, Tsarina Maharani | Editor: Sakina Rahma Diah Setiawan, Bambang P. Jatmiko, Irfan Maullana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com