Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah dari Nepal dan Bayang-bayang Bencana Kelaparan Global karena Virus Corona...

Kompas.com - 01/07/2020, 09:04 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ada sebuah pepatah "Kasih ibu sepanjang masa" yang bermakna bahwa kasih sayang dan rasa cinta seorang ibu kepada anaknya tidak mengenal batas.

Segala cara akan dilakukan seorang ibu demi keselamatan anaknya, termasuk rela menahan lapar agar anaknya bisa tetap makan.

Hal itu dilakukan oleh Shiba Kala Limbu, seorang ibu rumah tangga di Nepal.

Perempuan berusia 25 tahun itu ditinggal oleh suaminya, Ram Kumar, merantau ke Qatar untuk bekerja sebagai tukang batu.

Karena pandemi virus corona, suaminya tidak bisa bekerja dan akibatnya kiriman uang setiap bulan terhenti. Limbu kini tidak lagi memiliki uang untuk membayar sewa rumah.

"Saya menahan lapar saat malam, karena hanya ada sedikit makanan untuk putri saya," kata Limbu dilansir dari Reuters.

Penyebaran virus corona penyebab Covid-19 telah mencekik ekonomi di seluruh dunia dan membuat jutaan pekerja migran kehilangan pekerjaan, akibatnya mereka tidak dapat mengirim uang ke rumah.

Data resmi dari otoritas setempat menyatakan, ada lebih dari 56 persen dari 5,4 juta rumah tangga di Nepal yang menggantungkan hidupnya dari remitansi atau kiriman uang.

Bank Dunia menyebut pengiriman uang ke Nepal mencapai 8,1 miliar dollar AS tahun lalu, atau lebih dari seperempat produk domestik bruto negara itu.

Namun, angka tersebut kemungkinan turun sebanyak 14 persen pada tahun 2020 karena resesi global yang disebabkan oleh pandemi, serta penurunan harga minyak.

Padahal, jutaan pekerja migran Nepal bekerja di negara-negara Teluk yang kaya minyak dan Malaysia.

Baca juga: PBB: Dunia Terancam Bencana Kelaparan Akibat Pandemi Covid-19

Bergantung dari kiriman uang

Pakar isu migran di lembaga think tank Institute of Development Studies Nepal Ganesh Gurung menyebutkan, remitansi sangat penting bagi keluarga kelas menengah ke bawah yang telah pindah ke pusat kota.

Mereka sangat bergantung pada kiriman uang untuk membayar sewa, bahan makanan, biaya sekolah, dan keperluan lainnya.

“Tanpa kiriman uang, keluarga-keluarga ini akan menjadi lebih miskin dan tindak kriminal seperti perdagangan manusia dan prostitusi bisa meningkat,” kata Gurung.

Limbu biasanya menerima hingga 20.000 rupee Nepal atau setara Rp 2,35 juta setiap bulan sebelum pandemi.

Namun, dalam enam bulan terakhir dia hanya menerima 40.000 rupee Nepal atau setara Rp 4,7 juta dari suaminya, sebagian besar uang itu didapat suaminya dari hasil meminjam kepada teman-temannya.

"Hanya itu yang berhasil dia kirim tahun ini. Saya menggunakan sebagian untuk membayar sewa rumah dan sisanya untuk membeli bahan makanan," kata Limbu.

Terjerat lintah darat

Di kota barat daya Gajedah, Radha Marasini mengatakan, suaminya, Indra Mani, kehilangan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan di sebuah pabrik tekstil di Kota Ludhiana, India bagian utara, setelah pandemi merebak.

Ketika penghasilannya hilang, lelaki berusia 43 tahun itu tidak punya pilihan selain beralih ke rentenir lokal dan membayar suku bunga tidak masuk akal demi memastikan ia dan putranya yang berusia 15 tahun bisa bertahan hidup.

"Jika situasi corona tidak membaik, kami mungkin harus makan hanya satu kali sehari," kata Marasini.

Virus corona baru telah menyebabkan 13.248 kasus infeksi dan 29 kematian di Nepal.

Beberapa migran, seperti suami Limbu, Ram Kumar, tinggal di luar negeri meskipun kehilangan pekerjaan, dengan harapan situasi akan membaik dan mereka dapat kembali bekerja.

"Sangat menyesakkan berada jauh dari keluarga," kata Kumar.

"Jika ada harapan untuk mencari pekerjaan di Nepal, tentu saya akan memilih pulang," kata dia.

Krisis pangan dunia

Sementara itu, dilansir dari ABC News, Badan Pangan PBB (WFP) menyatakan, jutaan orang kini kelaparan akibat pandemi virus corona.

Dibutuhkan setidaknya 5 miliar dollar AS untuk mengentaskan kelaparan di negara-negara miskin dan berkembang. 

"Garis depan dalam pertempuran melawan virus corona bergeser dari dunia kaya ke dunia miskin," kata David Beasley, direktur eksekutif WFP.

"Sampai kita menemukan vaksin medis, makanan adalah vaksin terbaik untuk melawan kekacauan," kata dia.

Dia mengatakan, tanpa akses ke makanan yang cukup, akan terjadi keresahan sosial dan protes, peningkatan migrasi, konflik dan meluasnya kekurangan gizi di antara populasi yang sebelumnya bebas dari kelaparan.

Untuk mengatasi gelombang kelaparan, WFP melakukan respon kemanusiaan terbesar dalam sejarahnya, dengan memberikan bantuan kepada 138 juta orang, naik dari rekor sebelumnya yaitu 97 juta pada tahun 2019.

Badan tersebut mengatakan ,pendanaan berkelanjutan diperlukan untuk mendukung penyediaan makanan bagi 83 negara yang paling rentan dan membantu negara-negara yang sedang berjuang untuk membatasi penyebaran Covid-19.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Lolos ke Semifinal Piala Asia U23 2024, Indonesia Hentikan Rekor Korsel Lolos ke Olimpiade

Lolos ke Semifinal Piala Asia U23 2024, Indonesia Hentikan Rekor Korsel Lolos ke Olimpiade

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com