Gerakan ini semakin besar dan berani saat mahasiswa menolak terpilihnya Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Ketika itu, kondisi ekonomi tengah memburuk sehingga membuat mahasiswa mulai berdemonstrasi di luar kampus. Namun, aksi demonstrasi mahasiswa berubah menjadi tragedi pada 12 Mei 1998.
Baca juga: Saat Mahasiswa Kuasai DPR pada 18 Mei 1998 hingga Dukungan Harmoko...
Penyebabnya, saat itu, aparat keamanan bertindak represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti.
Aparat keamanan menangani aksi demontrasi dengan kekerasan dan penembakan. Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas. Sementara itu, 681 orang mengalami luka-luka dalam Tragedi Trisakti.
Selain itu, kerusuhan kembali terjadi dan bernuansa rasial setelah Tragedi Trisakti, pada 13-15 Mei 1998. Ada dugaan kerusuhan itu sebagai upaya mengalihkan perjuangan mahasiswa untuk menuntut mundur Soeharto dan kepemimpinan Orde Baru.
Namun, semangat mahasiswa tidak henti untuk melengserkan Soeharto meski kekerasan telah dilakukan aparat keamanan dalam Tragedi Trisakti 13-15 Mei 1998.
Baca juga: Kontras Nilai Laporan Komnas HAM soal Aksi Mahasiswa dan Pelajar Tak Maksimal
Pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa memutuskan melakukan aksi demonstrasi menuju gedung DPR RI. Ribuan mahasiswa ini berasal dari berbagai elemen, seperti Senat Mahasiswa UI, Keluarga Besar UI, Forum Kota, PMII, HMI, dan KAMMI.
Tidak hanya mahasiswa, sejumlah tokoh nasional juga ikut hadir di gedung DPR/MPR pada hari tersebut. Dilansir dari arsip Harian Kompas, tokoh yang datang antara lain Subroto, YB Mangunwijaya, Ali Sadikin, Solichin GP, Rendra, dan Sri Edi Swasono.
Gedung DPR saat itu, juga didatangi perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin Rektor IPB Soleh Salahuddin.
Baca juga: Tragedi Trisakti Berdarah 1998, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyampaikan tuntutan mereka yaitu reformasi di segala bidang.
Pada hari yang sama, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais juga sedang mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR.
Dalam pertemuan tersebut, Amien Rais mengatakan, Sultan Hamengkubuwono X siap memimpin long march pada 20 Mei 1998 di Yogyakarta untuk menuntut digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR dengan agenda penggantian kepemimpinan nasional.
Hari itu Soeharto kian terdesak dengan banyaknya tuntutan untuk pengunduran dirinya.
Baca juga: 5 Kasus HAM yang Belum Tuntas, dari Peristiwa Trisakti hingga Paniai
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.