Saat virus terdeteksi, maka akan mengeluarkan sinyal cahaya alam satu hingga tiga jam.
Sinyal itu tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, sehingga dibutuhkan perangkat yang disebut flourimeter untuk mengukur cahaya itu.
Di luar laboratorium Collins menyampaikan pejabat publik dapat menggunakan alat handheld flourimeter yang berharga sekitar satu dolar AS atau sekitar Rp 15 ribu untuk memindai masker seseorang.
Tim juga tengah mengembangkan sensor perubahan warna dari kuning ke ungu.
Collins dianggap sebagai pelopor biologi sintetis yang meniru sistem yang ada di alam.
Pada 2018, labnya mendapatkan hibah dari Johson & Johnson untuk mengembangkan sensor deteksi virus yang dapat diaplikasikan pada jas laboratorium.
Sensor temuan Collins menawarkan bentuk deteksi yang lebih murah cepat dan sensitif dibanding tes diagnostik tradisional.
Sensor lab yang ia ciptakan untuk deteksi Zika misalnya, dapat mendiagnosis dengan waktu dua hingga tiga jam.
Dalam kasus Zika, sensornya saat itu mampu mendeteksi virus dari strain Afrika, Asia dan Amerika.
Meskipun saat ini Lab MIT masih menguji segmen virus corona, tapi ada peluang nantinya alat mampu menguji virus corona dari berbagai strain juga.
Baca juga: Bolehkah Menggunakan Obat Tetes Mata, Telinga, dan Hidung Saat Puasa?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.