Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Emerson Yuntho
Pegiat antikorupsi

Pegiat antikorupsi, Wakil Direktur Visi Integritas

Rokok Murah, Duri dalam Visi Jokowi

Kompas.com - 04/03/2020, 18:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUDAH lebih dari 100 hari Presiden Joko Widodo (Jokowi) menakhodai periode kedua pemerintahannya yang diramu melalui Kabinet Indonesia Maju.

Sejak musim kampanye, Jokowi punya visi yang berbeda dibandingkan periode pertama pemerintahannya.

Di era kedua, Jokowi memiliki visi menciptakan sumber daya manusia Indonesia maju dan unggul.

Visi ini dituangkan dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, yakni Meningkatkan SDM Berkualitas dan Berdaya Saing.

Dalam dokumen tersebut, berbagai target yang akan dicapai adalah pemenuhan layanan dasar; peningkatan kualitas anak, perempuan dan pemuda; serta percepatan perbaikan gizi masyarakat.

Yang menarik, ketiga indikator tersebut seluruhnya terkait erat dengan pengendalian konsumsi merokok di Indonesia.

Pemerintah sepertinya sadar betul bahwa pengendalian konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat mendesak dilakukan.

Apalagi, tingkat konsumsi rokok terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menyebutkan sebanyak 9,1 persen penduduk berusia 10-18 tahun merokok.

Para pemerhati kesehatan pun memberikan apresiasi ketika pemerintah memutuskan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran sebesar 35 persen.

Kenaikan cukai terbesar selama satu dekade ini memberi harapan baru dalam upaya menekan prevalensi perokok di Indonesia, khususnya di kalangan anak dan remaja.

Sayangnya, niat mulia ini seolah masih jauh panggang dari api. Pelaksanaan di lapangan, pabrikan rokok masih dapat menjual rokok dengan harga yang sangat murah.

Adalah Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-25/BC/2018 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang menjadi biang keladi.

Peraturan ini ternyata "merestui" praktik penjualan rokok murah jauh di bawah 85 persen dari harga jual eceran (banderol), asalkan dilakukan di daerah yang sudah disepakati.

Tidak jelas benar alasan di balik pemerintah memperbolehkan praktik rokok murah atau di bawah harga seharusnya.

Kebijakan yang memperbolehkan rokok dijual semurah-murahnya seperti menggerogoti aturan pemerintah di atasnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Tembakau.

Maka, tak salah jika publik lantas skeptis dan mempertanyakan apa manfaat pemerintah menaikkan cukai dan harga jual eceran tinggi-tinggi, jika pada akhirnya bisa dijual lebih murah juga.

Rokok murah telah menciptakan ambigu kebijakan. Satu sisi, pemerintah menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran dengan tujuan agar rokok tak mudah terjangkau, terutama oleh anak-anak dan remaja. Namun, di saat yang sama ada kebijakan yang melonggarkan pasarnya.

Akibatnya, berbagai produk rokok dengan harga terjangkau masyarakat semakin bertebaran sehingga pemerintah terkesan "setengah hati" saat ingin mengendalikan konsumsi rokok.

Kebijakan ini sungguh bertolak belakang dengan berbagai pernyataan pemerintah yang selama ini dilontarkan ke publik.

Kebijakan Presiden Jokowi dan jajaran kabinet menterinya ternyata tidak diikuti oleh para pelaksana di lapangan.

Niat mulia tersebut diintepretasikan berbeda dan akibatnya, harga rokok di pasaran tetap murah dan mudah diakses masyarakat.

Dilihat dari hampir semua sisi, keberadaan rokok murah telah melanggar berbagai prinsip kebijakan publik yang baik.

Pertama, keberadaan rokok murah telah mencederai filosofi pengenaan cukai produk tembakau. Seperti kita tahu, fungsi cukai yang paling pokok adalah pengendalian.

Keberadaan rokok murah akan semakin sulit melepaskan stigma negatif bahwa ini adalah bagian kompromi pemerintah dengan industri hasil tembakau.

Terlebih lagi, jika menilik sejarah pembuatan dan konten yang ada, kebijakan ini seolah "menyelip" di tengah setumpuk aturan teknis ihwal tata cara penetapan cukai hasil tembakau.

Sedari awal, kebijakan ini tidak pernah memperoleh porsi pembahasan yang luas di publik layaknya saat pemerintah menetapkan tarif cukai rokok.

Ketentuan pada Perdirjen 25/BC/2018 yang memperbolehkan rokok dijual semurah-murahnya seolah menjadi klausul "siluman" yang muncul belakangan menjelang sebuah kebijakan diberlakukan.

Tentu saja, masih banyak kejanggalan lain yang bisa dibedah dari berbagai sudut pandang. Namun, hasilnya sudah pasti sama.

Apa pun dasar dan sudut pandangnya kebijakan rokok murah tetaplah tidak relevan.

Oleh karenanya, tak ada alasan pemerintah untuk tidak menghapuskannya. Bukan hanya untuk menegakkan prinsip kebijakan publik yang baik dan akuntabel.

Namun, lebih dari itu penghapusan rokok murah berarti kita berani mencabut duri yang akan mengganggu implementasi visi pemerintahan Jokowi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pekerja Tidak Bayar Iuran Tapera Terancam Sanksi, Apa Saja?

Pekerja Tidak Bayar Iuran Tapera Terancam Sanksi, Apa Saja?

Tren
Pedangdut Nayunda Minta ke Cucu SYL agar Dijadikan Tenaga Honorer Kementan, Total Gaji Rp 45 Juta

Pedangdut Nayunda Minta ke Cucu SYL agar Dijadikan Tenaga Honorer Kementan, Total Gaji Rp 45 Juta

Tren
Berapa Gaji Komite BP Tapera? Ada Menteri Basuki dan Sri Mulyani

Berapa Gaji Komite BP Tapera? Ada Menteri Basuki dan Sri Mulyani

Tren
Daftar Orang Terkaya Indonesia Versi Forbes dan Bloomberg Akhir Mei 2024

Daftar Orang Terkaya Indonesia Versi Forbes dan Bloomberg Akhir Mei 2024

Tren
Cara Download Aplikasi JMO (Jamsostek Mobile), Bayar Iuran BPJS Ketenagakerjaan Jadi Lebih Mudah

Cara Download Aplikasi JMO (Jamsostek Mobile), Bayar Iuran BPJS Ketenagakerjaan Jadi Lebih Mudah

Tren
Syarat Kredit Rumah Pakai Tapera dan Kelompok Prioritas Penerimanya

Syarat Kredit Rumah Pakai Tapera dan Kelompok Prioritas Penerimanya

Tren
Biar Ibadah Haji Lancar, Ini 4 Hal yang Wajib Dipersiapkan Jemaah

Biar Ibadah Haji Lancar, Ini 4 Hal yang Wajib Dipersiapkan Jemaah

BrandzView
Israel Klaim Kuasai Koridor Philadelphia, Berisi Terowongan untuk Memasok Senjata ke Hamas

Israel Klaim Kuasai Koridor Philadelphia, Berisi Terowongan untuk Memasok Senjata ke Hamas

Tren
KCIC Luncurkan Frequent Whoosher Card untuk Penumpang Kereta Cepat, Tiket Bisa Lebih Murah

KCIC Luncurkan Frequent Whoosher Card untuk Penumpang Kereta Cepat, Tiket Bisa Lebih Murah

Tren
Intip Kehidupan Mahasiswa Indonesia di UIM Madinah, Beasiswa '1.000 Persen' dan Umrah Tiap Saat

Intip Kehidupan Mahasiswa Indonesia di UIM Madinah, Beasiswa "1.000 Persen" dan Umrah Tiap Saat

Tren
Mengenal Penyakit Multiple Sclerosis, Berikut Gejala dan Penyebabnya

Mengenal Penyakit Multiple Sclerosis, Berikut Gejala dan Penyebabnya

Tren
Kenali Perbedaan SIM C, SIM C1, dan SIM C2

Kenali Perbedaan SIM C, SIM C1, dan SIM C2

Tren
Apakah Dana Tapera Bisa Dicairkan? Ini Mekanisme dan Syaratnya

Apakah Dana Tapera Bisa Dicairkan? Ini Mekanisme dan Syaratnya

Tren
SYL Beri Nayunda Nabila Kalung Emas dan Tas Mewah Pakai Uang Kementan

SYL Beri Nayunda Nabila Kalung Emas dan Tas Mewah Pakai Uang Kementan

Tren
Mahasiswa UM Palembang Diduga Plagiat Skripsi Lulusan Unsri, Kok Bisa?

Mahasiswa UM Palembang Diduga Plagiat Skripsi Lulusan Unsri, Kok Bisa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com