Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Saptoto, Seniman di Balik Monumen Serangan Umum 1 Maret

Kompas.com - 01/03/2020, 09:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejak diserang secara mendadak oleh Belanda pada 19 Desember 1948, Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.

Seluruh kekuatan militer Indonesia pun menyingkir ke luar kota. Sejak saat itu, dimulailah sebuah geriliya yang menimbulkan keresahan pihak Belanda.

Puncaknya, Staf Komando Aktif Bibis mengeluarkan Perintah Operasi untuk mengadakan serangan umum ke dalam kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.

Setelah sirine pagi pukul 06.00 sebagai isyarat berakhirnya jam malam berbunyi, maka serangan ke dalam kota pun dimulai dari enam arah. Pasukan Belanda pun tunggang langgang menghadapi serangan itu.

Untuk memperingati momen bersejarah itu, dibangun sebuah monumen atas prakarsa Pangdam VII/Diponegoro Mayjen Widodo terletak di ujung selatan Malioboro (titik nol kilometer Yogyakart) dan diresmikan pada 1 Maret 1973.

Di atas alas tembok beton, berdiri lima patung perunggu yang dipahat oleh seorang seniman bernama Saptoto.

Baca juga: Mengenal Maria Ulfah Soebadio, Menteri Perempuan Pertama Indonesia

Saptoto Muda

Pematung yang pernah menjadi Direktur Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI- sekarang ISI) Yogyakarta.KOMPAS/THOMAS PUDJO WIDIJANTO Pematung yang pernah menjadi Direktur Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI- sekarang ISI) Yogyakarta.

Jai Singh Yadav dalam artikelnya "Saptoto, Kisah Pembuat Patung dan Monumen" yang dimuat di Harian Kompas, 30 September 1997, bakat seni Saptoto sudah tampak sejak di bangku sekolah.

Bakatnya semakin tumbuh ketika berada di bawah asuhan kakeknya, seorang sinder (pengawas) hutan di Magelang.

Sebagai obat kangen pada orang tua yang jauh, dia menggambar di buku, sobekan keras, atau bungkus rokok, dengan arang dan patahan kapur.

Ia terpaksa berpisah dari kedua orang tuanya Raden Priyo Widagdo dan RA Soetini karena kesulitan ekonomi.

Alih-alih menggunakan uang sakunya untuk membeli jangkrik dan layang-layang seperti teman seusianya, Saptoto justru membeli buku gambar dari uang itu.

Jiwa seni Saptoto semakin terasah berkat lingkup pergaulannya dengan para seniman di kota budaya Yogyakarta. Saat itu Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan RI, kancah para seniman.

Selain aktif di Persatuan Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI), Saptoto juga bergabung dengan sanggar Pelukis Rakyat yang didirikan pada 17 Agustus 1947.

Pergaulannya dengan para seniman dari sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM), seperti Sudjojono, Haryadi S, Dullah, Abdul Salam, Surono, dan Suromo, makin memperkaya wawasan dunia kesenirupaan Saptoto.

Baca juga: Mengenal Hokkaido, Provinsi Bersalju yang Menjadi Sarang Virus Corona di Jepang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com