KOMPAS.com - Badan Kepegawaian Negara (BKN) pernah mengeluarkan edaran mengenai kategori pelanggaran disipln, salah satunya soal panduan berperilaku di media sosial.
Edaran ini dikeluarkan pada 2018, saat memasuki tahun politik menjelang Pemilu 2019.
Namun perlu diketahui, hingga saat ini aturan yang dimuat dalam edaran tersebut masih relevan dan berlaku.
Sebagian besar edaran tersebut meminta agar para ASN tidak menggunakan media sosial untuk menyampaikan atau menyebarluaskan pendapat yang berisi ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
Bahkan, mereka juga dilarang untuk memberikan likes, dislike, love, retwet atau memberi komentar pada unggahan yang berisi ujaran kebencian tersebut.
Bagi mereka yang melanggar, bisa disanksi hukuman disiplin hingga pembebasan jabatan yang bersangkutan.
Menanggapi hal tersebut, pengamat media sosial Enda Nasution mengatakan, bahwa setiap organisasi mempunyai kode etiknya sendiri.
Layaknya dokter dan wartawan dengan kode etik jurnalistiknya.
"Jadi memang setiap organisasi punya kewajiban untuk menjalankan organisasinya dengan membuat peraturan-peraturan yang mengikat bagi semua orang yang ada dalam organisasi itu," kata Enda saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/10/2019) malam.
Menurut dia, aturan yang diterapkan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hal ini masih dalam taraf yang wajar.
"Contohnya dilarang melakukan ujaran kebencian terhadap Pancasila, NKRI, termasuk juga yang menjadi perdebatan adalah ujaran kebencian terhadap pemerintah," terang dia.
Enda mengatakan, bila memang tidak setuju terhadap sesuatu, hal itu tidak masalah, asalkan tidak menyampaikannya dalam bentuk kebencian.
Baca juga: Dapatkah PNS Dipecat karena Unggah soal Ujaran Kebencian?
Ujaran kebencian, menurut Enda adalah sebagai sebuah hasutan atau provokasi yang mempunyai potensi untuk menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, termasuk di dalamnya kata-kata kasar.
Namun, menurutnya, bila tidak setuju dengan pemerintah, hal tersebut bukan ujaran kebencian.
"Mungkin masalahnya begini, kan ada framing semacam pengekangan kebebasan berpendapat untuk PNS," jelas dia.