Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

63 Persen Wilayah Masuk Kemarau Mei-Agustus, BMKG: Cuaca Ekstrem Masih Mengintai

KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, 63 persen wilayah zona musim diprediksi memasuki musim kemarau pada Mei hingga Agustus 2024.

Sementara itu, pada periode pertengahan April, beberapa wilayah terpantau masih cukup basah, bahkan berpotensi mengalami cuaca ekstrem.

Sejumlah wilayah yang masih dilanda hujan intensitas sangat lebat hingga ekstrem sejak 22 April lalu, antara lain Luwu Utara (Sulawesi Selatan), Banjarbaru (Kalimantan Selatan), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), dan Tanjung Perak, Surabaya (Jawa Timur).

Meski akan mulai memasuki musim kemarau Mei, mengapa cuaca ekstrem masih akan terjadi?

Potensi cuaca ekstrem

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, potensi hujan signifikan terjadi karena kontribusi Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Kelvin, dan Rossby Equatorial.

Kondisi suhu muka laut yang hangat pada perairan wilayah sekitar Indonesia juga memengaruhi potensi hujan di sejumlah daerah.

"Hal ini tentu saja dapat meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah di Indonesia," ujar Guswanto dalam keterangan resmi, Sabtu (27/4/2024).

BMKG mengidentifikasi potensi peningkatan curah hujan secara signifikan dalam sepekan ke depan, meliputi:

Ciri peralihan musim hujan ke kemarau

Di sisi lain, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani menerangkan, April adalah periode peralihan musim di sebagian besar wilayah Indonesia, sehingga masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan.

Masyarakat juga perlu meningkatkan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem, seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat atau petir dan angin kencang, angin puting beliung, serta fenomena hujan es.

Menurutnya, salah satu ciri masa peralihan musim adalah pola hujan yang biasa terjadi pada sore hingga menjelang malam hari.

Fenomena hujan tersebut biasanya didahului udara hangat dan terik pada pagi hingga siang hari.

Hal itu terjadi lantaran radiasi Matahari yang diterima pada pagi hingga siang hari cukup besar dan memicu proses konveksi atau pengangkatan massa udara dari permukaan Bumi ke atmosfer.

Proses tersebut memicu terbentuknya awan yang menurunkan hujan pada sore hingga menjelang malam.

Tidak hanya itu, karakteristik hujan pada periode peralihan juga cenderung tidak merata dengan intensitas sedang hingga lebat dalam durasi singkat.

Andri menjelaskan, pada periode ini, kondisi atmosfer menjadi labil, sehingga potensi pembentukan awan konvektif seperti awan kumulonimbus (CB) akan meningkat.

"Awan CB ini erat kaitannya dengan potensi kilat/petir, angin kencang, puting beliung, bahkan hujan es," terangnya.

Andri mengimbau masyarakat agar tetap tenang, meski perlu waspada terhadap potensi bencana terutama banjir.

Dia melanjutkan, penting untuk mengenali potensi bencana di lingkungan masing-masing, khususnya di daerah rawan bencana, serta menerapkan langkah-langkah sederhana, termasuk tidak membuang sampah sembarangan, bergotong royong menjaga kebersihan, dan menata lingkungan sekitarnya.

"Pantau terus informasi peringatan dini cuaca melalui aplikasi infoBMKG untuk mendapatkan informasi yang lebih detail," tambah Andri.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/04/28/083000465/63-persen-wilayah-masuk-kemarau-mei-agustus-bmkg--cuaca-ekstrem-masih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke