KOMPAS.com - Pemerintah secara resmi menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang mulai berlaku pada 1 Februari 2022 lalu.
Berdasarkan penetapan tersebut, HET untuk minyak curah dipatok Rp 11.500 per liter, untuk kemasan sederhana dipatok Rp 13.500 per liter, sementara untuk kemasan premium dihargai Rp 14.000 per liter.
Meski begitu, minyak goreng yang dihargai sesuai HET nyatanya masih langka di pasaran.
Langkanya pasokan minyak goreng tersebut salah satunya diungkapkan oleh warganet berikut:
Kasir toko ritel kemudian menjawab keberadaan minyak goreng yang kosong dan kalaupun tersedia akan langsung habis terbeli.
Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menyatakan bahwa dalam konsep dan praktik ekonomi, kelangkaan minyak goreng saat ini bukan sesuatu yang mengejutkan.
“Mungkin maksudnya baik supaya minyak goreng harganya lebih terjangkau. Secara ekonomi kita sudah menduga pasti ada potensi menghilangnya produk,” ujar Eddy saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/2/2022).
Eddy menyebutkan, kemungkinan hilangnya produk minyak goreng dari pasaran karena adanya pihak-pihak yang memborong atau membeli dalam jumlah besar.
Salurkan melalui Bulog
Kebijakan yang bersifat sementara dan melibatkan kepentingan nasional, imbuhnya akan lebih baik jika disalurkan menggunakan agen pemerintah.
“Kalau produksi memang harus melalui produsen-produsen itu. Tapi kalau penyaluran bisa melalui Bulog (Badan Urusan Logistik) atau government agency yang ditunjuk pemerintah. Saya kira akan lebih baik karena tidak akan ada persaingan industri,” katanya lagi.
Eddy menjelaskan bahwa penerapan strategi satu harga seperti ini tidak dapat dijalankan secara permanen.
Cara yang lebih baik dan aman untuk jangka panjang adalah dengan memperbanyak produsen minyak goreng.
“Logika berdagang, kalau penjual banyak harga akan semakin bagus buat konsumen. Untuk jangka pendek penetapan harga murah ini solusi sementara supaya daya beli masyarakat tidak habis karena pandemi,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebutkan, permasalahan kelangkaan minyak goreng terletak pada kebijakan subsidi yang melalui perusahaan minyak goreng.
Menurutnya, selama subsidi disalurkan melalui swasta dan bukan langsung ke penerima atau masyarakat miskin, maka akan terjadi kesenjangan antara pasokan dan permintaan.
“Kemarin kan chaos sekali penyaluran minyak goreng subsidinya menimbulkan indikasi adanya penimbunan juga karena satu orang bisa beli lebih dari satu kemasan,” ujar Bhima dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Jumat (4/2/2022).
Selain hal di atas, Bhima juga menyebutkan bahwa ketidaktegasan pemerintah dan lemahnya sanksi yang diberikan kepada produsen minyak goreng adalah penyebab lain kelangkaan minyak goreng di pasar.
“Apa ada produsen minyak goreng yang dicabut izin ekspor atau izin usaha karena gagal menyalurkan minyak goreng? Kan tidak ada (sanksi) itu,” kata Bhima.
Akibatnya, lanjut Bhima, produsen pun dapat sesuka hati menentukan jumlah pasokan minyak goreng yang akan digulirkan ke pasar.
DMO untuk CPO yang dinilai terlambat
Permasalahan lain yang menjadi penyebab masih langkanya minyak goreng menurut Bhima karena kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk produk minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang dinilai terlambat.
Kebijakan DMO diterapkan sebagai kunci stabilitas pasokan dan harga di produsen minyak goreng.
“Sebelum ada subsidi minyak goreng idealnya ada DMO dulu,” kata Bhima.
Senada dengan Eddy, Bhima pun mengatakan, minyak goreng lebih baik disalurkan langsung kepada masyarakat melalui Bulog.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/04/203100565/minyak-goreng-murah-tapi-masih-langka-ini-kata-pengamat-ekonomi