Kamboja secara resmi memperoleh kemerdekaannya dari Perancis pada akhir 1953.
Dari tahun 1956 hingga 1963, Pol Pot mengajar sejarah, geografi, dan sastra Perancis di sekolah swasta, sekaligus merencanakan revolusi.
Pol Pot juga bergabung dengan Partai Revolusioner Rakyat Khmer (KPRP) proto-komunis, yang didirikan pada 1951 di bawah naungan Vietnam Utara.
Pada 1963, setelah adanya tindakan keras terhadap aktivitas komunis, Pol Pot dan para tokoh partai lainnya meninggalkan Phnom Penh dan berpindah jauh ke pedesaan di utara Kamboja.
Segera setelah itu, Pol Pot menjadi anggota gerakan komunis Kamboja, Khmer Merah, dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Kamboja.
Baca juga: Khmer Merah, Rezim Komunis yang Menguasai Kamboja
Khmer Merah awalnya terbentuk dari Partai Revolusioner Rakyat Khmer yang dikendalikan di bawah pimpinan Viet Minh Vietnam pada 1951.
Pada 1970, meletus perang saudara di Kamboja, yang berlangsung hingga lima tahun lamanya.
Selama itu, pasukan Khmer Merah mengusai wilayah pedesaan di Kamboja dan akhirnya memenangkan perang saudara.
Khmer Merah menguasai Phnom Penh dan pemerintah Kamboja digulingkan pada 17 April 1975.
Pol Pot, selaku pemimpin militer Khmer Merah, diangkat menjadi kepala pemerintahan yang baru. Tidak lama setelah itu, kekejaman Pol Pot dimulai.
Rezim Khmer Merah memiliki visi menciptakan negara agraris bergaya komunis yang "murni".
Cita-cita rezim Khmer Merah itulah yang menjadi penyebab terjadinya genosida di Kamboja.
Pol Pot mengisolasi negaranya dari komunitas global. Mata uang, harta pribadi, agama, semua dihapus dan dilarang oleh rezim Khmer Merah.
Baca juga: Suku Khmer, Penduduk Asli Kamboja
Menurut Pol Pot, rakyat Kamboja telah dirusak oleh pengaruh luar, khususnya oleh Vietnam dan negara Barat.
Untuk menciptakan ras "murni" Kamboja, orang-orang yang telah terkena pengaruh luar atau membangkang terhadap rezim Khmer Merah, harus dimusnahkan.