Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Kehidupan Perempuan pada Zaman Romawi Kuno?

Kompas.com - 16/10/2023, 13:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perempuan-perempuan di zaman Romawi kuno, baik yang berstatus merdeka maupun budak, mengemban berbagai peran dalam masyarakat, seperti permaisuri, pendeta, pemilik toko, bidan, putri, istri, dan ibu.

Namun, para perempuan di zaman Romawi kuno tidak memiliki keterlibatan suara dalam partispasi politik.

Catatan sejarah mengenai partisipasi perempuan juga terbatas, sehingga informasi mengenai peran perempuan Romawi sebagian besar berasal dari tulisan-tulisan pria di kalangan elit Roma.

Nilai perempuan di Roma kuno hampir sepenuhnya ditentukan dari hubungan mereka dengan ayah dan suami. Sebagian besar perempuan dinikahkan pada usia remaja.

Tidak ada mekanisme partisipasi politik langsung atau peran resmi dalam pengelolaan republik kekaisaran yang tersedia bagi perempuan Romawi.

Meskipun demikian, kita dapat melihat petunjuk menarik bahwa beberapa perempuan yang memiliki kekayaan, pendidikan, dan status keluarga tertinggi dapat menemukan cara untuk memperoleh kekuasaan serta hak-hak baru.

Terkadang, hal ini dicapai melalui pengaruh terhadap pria dalam hidup mereka, sesekali melalui peran keagamaan dalam masyarakat, sehingga jarang sekali melalui pencapaian tingkat kemandirian hukum dan ekonomi.

Berikut ini peran perempuan pada masa Romawi kuno:

Baca juga: 5 Penyebab Runtuhnya Kekaisaran Romawi

Bagaimana pria Romawi memandang perempuan?

Dalam catatan sejarah Romawi kuno, tulisan para tokoh laki-laki terkemuka memberikan spektrum pandangan yang beragam terhadap kaum perempuan.

Plinius Muda, seorang cendekiawan Roma, memuji kecerdasan dan keahlian rumah tangga istrinya yang masih muda, yaitu Calpurnia.

Pada saat menikah, perbedaan usia mereka mencapai sekitar 25 tahun dan Calpurnia baru berusia sekitar 15 tahun saat itu.

Sebaliknya, terdapat juga beberapa catatan yang merendahkan kaum perempuan.

Ovidius, seorang penyair terkenal di zaman awal Kekaisaran Romawi, menuliskan bahwa hasrat seksual "primitif" pada wanita membuatnya menjadi tidak rasional.

Cicero, seorang politisi dan pengacara Romawi, mengingatkan juri bahwa lemahnya pertimbangan (infirmitas consilii) membuat nenek moyang menempatkan perempuan di bawah kekuasaan tutor karena kelemahan dalam penilaian.

Marcus Porcius Cato, seorang negarawan terkemuka pada zaman Republik Romawi, memberi peringatan kepada sesama warga Romawi tentang risiko memberikan perlakuan setara kepada perempuan, dengan mengatakan bahwa "mulai dari saat itu, mereka akan menjadi lebih unggul".

Satiris Romawi, Juvenal, menawarkan pandangan paling pedas dalam Satire Keenam-nya yang terkenal dan ditulis pada abad kedua Masehi.

Dalam kritiknya, perempuan dianggap enggan mengambil risiko untuk ide yang baik.

Mereka dianggap cenderung berperilaku promiskuitas dan sangat mengganggu ketika berani menunjukkan pandangan intelektual.

Juvenal juga menyebut sangat malang bagi pria yang memiliki ibu mertua yang masih hidup, dalam tulisannya:

"Segala harapan akan harmoni dalam kehidupan rumah tangga hilang selama ibu mertua Anda masih hidup".

Baca juga: Seperti Apa Parfum yang Dipakai Orang Romawi Kuno?

Peran ideal Perempuan

Menurut kode hukum dan sosial Romawi, baik tertulis maupun tidak tertulis, perempuan Romawi yang dianggap ideal adalah seorang ibu rumah tangga yang memintal kain sendiri, mengelola urusan keluarganya, memberikan suami anak-anak, makanan, dan rumah tangga tertata baik, serta menunjukkan kesopanan.

Perempuan yang menentang stereotip ini seringkali dianggap sebagai orang terbuang.

Sebagian besar sejarah Romawi kuno menggambarkan bahwa perempuan bahkan tidak memiliki hak atas nama mereka sendiri dengan selalu mengambil versi feminin dari nama keluarga ayah mereka.

Oleh karena itu, Gaius Julius atau Marcus Terentius akan memiliki putri yang dinamai, masing-masing Julia dan Terentia.

Dalam kasus memiliki beberapa putri, mereka dibedakan dengan tambahan akhiran, seperti Julia Major untuk yang tertua, Julia Minor untuk berikutnya, dan Julia Tertia untuk yang ketiga.

Perempun dalam mitologi dan agama Romawi kuno

Meskipun masyarakat Romawi kuno didominasi oleh pria, pantheon dewa-dewa Romawi tidak demikian.

Dari tiga dewa tertinggi yang disembah oleh bangsa Romawi kuno, hanya satu Yupiter, raja para dewa berjenis kelamin laki-laki.

Dua lainnya adalah Juno, dewi utama dan pelindung kekaisaran, serta Minerva, putri Yupiter dan dewi kebijaksanaan dan perang.

Para pendeta Vesta merupakan salah satu penduduk paling penting di kota itu.

Diangkat sebelum mencapai pubertas dan diwajibkan untuk tetap menjaga kesucian selama 30 tahun, keenam perempuan muda ini memiliki tugas suci, seperti menjaga api perapian di kuil Vesta serta tugas-tugas penting lainnya, seperti menjaga wasiat orang-orang terkaya dan paling terkenal di Roma, seperti Julius Caesar.

Kebermaknaan agama bagi para pendeta memberikan mereka kekuasaan dan pengaruh signifikan, seperti ketika mereka ikut campur untuk menyelamatkan Julius Caesar dari diktator Sulla.

Baca juga: Mengapa Orang Romawi Terobsesi dengan Pinset?

Tokoh perempuan inspiratif

Walaupun tidak bisa terlibat banyak dalam politik, beberapa perempuan Romawi kuno dari kalangan kelas atas tetap berhasil menciptakan pengaruh untuk diri mereka sendiri, meskipun harus berdampingan dengan laki-laki di sekitarnya.

Salah satu perempuan yang berpengaruh di Republik Romawi adalah Cornelia, putri jenderal terkenal Romawi, Publius Cornelius Scipio Africanus.

Dia belajar dengan baik dan tumbuh besar di rumah seorang pemimpin militer dan politik.

Saat menikah, dia menjadi sosok yang pintar dan berpengaruh dalam masyarakat Romawi.

Setelah menjadi janda muda, dia tetap mempertahankan kecerdasannya.

Ia menolak tawaran pernikahan (termasuk dari firaun Mesir, Ptolemy VIII) dan tetap mendedikasikan dirinya untuk membesarkan ketiga anaknya yang masih hidup.

Ketika dua putranya memulai reformasi populist, Cornelia mendukung mereka dengan tegas di hadapan publik dalam surat-suratnya.

Namun, kedua putranya dibunuh oleh faksi konservatif Romawi.

Meski begitu, Cornelia tetap dihormati karena pengetahuannya maupun dedikasinya terhadap keluarga dan negara.

Selain itu, ada juga perempuan hebat lainnya, Faustina, putri kaisar Antoninus Pius.

Ia menikah pada usia 15 tahun dengan calon kaisar Marcus Aurelius dan melahirkan 14 anak, salah satunya menjadi kaisar Commodus.

Faustina bahkan diberi gelar Augusta, status tertinggi yang dapat diterima seorang perempuan.

Faustina dihormati oleh militer saat ia mendampingi suaminya dalam kampanye.

Ia diberikan gelar oleh suaminya sebagai Mater Castrorum atau ibu kamp.

Ketika ia meninggal, Marcus Aurelius berduka, menguduskannya, dan kemudian mendirikan serangkaian sekolah untuk anak perempuan yatim piatu dengan nama Faustina.

Perubahan dalam status perempuan

Pada masa pemerintahan Augustus, terjadi banyak perubahan besar dalam kehidupan perempuan.

Perempuan yang belum menikah dihukum dengan keras.

Adapun sanksi bagi perempuan yang bersalah melakukan zina menjadi lebih ketat.

Meski begitu, undang-undang Julian juga memberi kesempatan pada perempuan yang melahirkan minimal tiga anak untuk bebas dari wewenang seorang pria.

Referensi:

  • McGee, S. (2023). What Role Did Women Play in Ancient Rome?. A&E Television Networks.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com