Polisi dan aparat keamanan kesulitan untuk mengendalikan situasi yang semakin memburuk.
Selama kerusuhan tersebut, terjadi pembakaran bangunan, perampokan toko emas China dan pembunuhan terhadap etnis Tionghoa.
Data resmi dari otoritas Malaysia mencatat bahwa setidaknya 184 orang tewas akibat kerusuhan ini, 356 orang lainnya mengalami luka-luka, dan banyak kasus pembakaran serta kerusakan properti terjadi.
Baca juga: Isu Rasial di Balik Teknologi Pengenal Wajah
Peristiwa 13 Mei 1969 mencerminkan polarisasi rasial dan politik yang semakin memburuk di Malaysia pada saat itu.
Kampanye pemilihan umum telah memanas dengan para calon dan anggota partai politik, terutama dari oposisi yang memilih mengangkat isu-isu sensitif terkait bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan istimewa orang Melayu sebagai Bumiputera, dan hak-hak warga non-Melayu.
Partai Perikatan (UMNO-MCA-MIC) mengalami pukulan telak dalam Pemilihan Umum tahun 1969.
Jumlah kursi yang berhasil mereka raih di Dewan Rakyat (Parlemen) mengalami penurunan signifikan, dari 89 kursi pada 1964 menjadi hanya tersisa 66 kursi pada 1969.
Partai Perikatan kehilangan sebagian besar kursi-kursi yang mereka pegang sebelumnya, hampir mencapai dua pertiga.
Sementara itu, partai-partai oposisi seperti Partai Gerakan, DAP, dan PPP berhasil meraih total 25 kursi di Dewan Rakyat, sedangkan PAS mampu memenangi 12 kursi.
Hal ini menunjukkan perubahan dramatis dalam komposisi kekuatan politik di Malaysia yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Peristiwa tragis ini pun menjadi puncak dari ketegangan rasial dan politik yang semakin memburuk di seluruh Malaysia.
Masyarakat Melayu dan Tionghoa terpecah lebih jauh dan menciptakan luka yang dalam dalam sejarah Malaysia. Luka akibat konflik rasial ini bahkan belum sembuh sepenuhnya hingga hari ini.
Referensi: