Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Batik, Karya Nenek Moyang hingga Jadi Ikon Nasional

Kompas.com - 12/09/2023, 20:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Batik, kain berpola yang sering kita lihat di Indonesia, bukanlah sekadar tekstil biasa. Batik merupakan bagian dari identitas bangsa ini.

Bagaimana batik bisa menjadi begitu istimewa dan bermakna di Indonesia? 

Perjalanan panjang batik, dari akar-akarnya hingga menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, merupakan cerita yang mengesankan tentang kekayaan sejarah dan seni kreatif warisan budaya kita.

Berikut ini perjalanan batik sejak masa nenek moyang hingga menjadi ikon nasional bagi bangsa Indonesia kini.

Baca juga: Sejarah Batik di Indonesia

Sejarah batik

Kata "batik" baru muncul sekitar abad ke-17, pada masa Kesultanan Mataram Islam (1586–1755).

Oleh karena itu, sebagian besar sejarah batik dimulai dari periode ini.

Selama pemerintahan Sultan Agung Mataram (1613–1645), batik digunakan sebagai tanda status sosial.

Sultan Agung mempopulerkan batik dengan alasan ekonomi dan politik.

Pada masa pemerintahannya, terdapat konflik dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang menguasai perdagangan rempah-rempah dan kepulauan Maluku (Moluccas).

VOC juga memiliki monopoli perdagangan dengan India. Konflik ini memaksa Sultan Agung mencari alternatif untuk barang-barang impor, termasuk batik.

Dengan mendorong produksi batik lokal, ia dapat mengurangi ketergantungannya pada impor dan juga memperkuat ekonomi lokal.

Di bawah pemerintahan Sultan Agung, batik bertransformasi dari produk yang diproduksi dan digunakan secara lokal menjadi barang mewah untuk diekspor, setidaknya di kalangan elit Jawa.

Selama periode ini, batik menjadi simbolisasi status sosial dan perbedaan, dengan kekayaan tradisi Hindu-India menjadi bagian penting dalam penekanannya.

Pada akhir abad ke-17, batik Jawa populer di seluruh kepulauan Indonesia dan dianggap sebagai alternatif yang lebih terjangkau daripada tekstil impor.

Pada periode ini, batik dikendalikan oleh perempuan dari istana. Kemampuan membatik bahkan menjadi kriteria untuk dipilihnya seorang perempuan sebagai istri raja.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Batik Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia

Masa keemasan batik

Setelah kematian Sultan Agung, masa keemasan Mataram pun ikut memudar.

Persaingan di antara banyak penguasa di wilayah Jawa menjadi begitu ketat dan hanya bisa dikendalikan oleh pemimpin yang kuat.

Di Jawa, persaingan ini semakin dipicu oleh VOC yang hanya bisa menang dengan memanfaatkan persaingan di antara penguasa lokal.

Kemudian, Kesultanan Mataram pecah pada 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti yang direncanakan oleh VOC.

Perjanjian ini menghasilkan pembentukan Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta (Solo).

Pada 1755, lahirlah Perjanjian Jatisari yang merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Giyanti untuk meresmikan perbedaan dalam motif dan warna batik antara Yogyakarta dan Solo.

Keduanya mengembangkan desain dan warna mereka sendiri untuk membedakan diri di dalam dan di luar.

Batik Yogyakarta menggunakan pola biru, hitam, atau cokelat gelap pada latar belakang putih, sedangkan batik Surakarta menggunakan pola biru, hitam, atau cokelat gelap pada latar belakang krem. 

Ketentuan-ketentuan tentang penggunaan kain batik tidak hanya berlaku di istana dan motif-motif tertentu dilarang digunakan oleh orang biasa.

Raja Surakarta memulai ketentuan-ketentuan tersebut dengan mengeluarkan dekrit pada 1769, 1784, dan 1790 yang kemudian diikuti oleh Sultan Yogyakarta pada 1785.

Mulai saat itu, orang-orang menggunakan batik untuk menunjukkan asal usul dan identitas mereka.

Baca juga: Ramai di Medsos, Ini Sejarah Batik Indonesia

Batik di masa kolonial

Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-19, Indonesia merupakan pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat diincar oleh bangsa Eropa, terutama Belanda dan Inggris.

Kedua negara ini memperkenalkan tekstil mereka sendiri ke Indonesia yang mengancam produksi batik lokal.

Namun, terobosan terjadi ketika seorang administrator Inggris bernama Raffles memerintah di Indonesia selama pendudukan Inggris.

Dia membawa contoh batik Jawa ke Inggris dengan tujuan mereplikasinya secara industri.

Akan tetapi, penemuan yang lebih penting adalah "tjap" (cap), alat berbentuk stempel tembaga yang membantu produksi batik berkualitas tinggi dengan lebih efisien dan ekonomis.

Hal ini membantu melindungi produksi batik lokal dari ancaman produk tekstil Eropa yang lebih murah.

Pada saat yang sama, pertumbuhan penduduk di Jawa meningkatkan permintaan terhadap batik.

Ini merangsang produksi dan penggunaan batik lokal, terutama karena para pedagang dari China memainkan peran penting dalam pasokan bahan baku dan distribusi produk batik.

Masyarakat biasa pun mulai mengenakan batik, bahkan dengan motif-motif yang sebelumnya hanya digunakan oleh kalangan elit.

Pada awal abad ke-20, gerakan nasionalis mulai berkembang di Indonesia, dan salah satu organisasi yang berperan besar adalah Sarekat Islam (SI).

SI melindungi produsen dan pedagang batik Muslim lokal dari eksploitasi perdagangan China.

Baca juga: Mengenal Sejarah Batik Garutan, Batik Tulis Warisan Leluhur

Batik pascakemerdekaan

Setelah kemerdekaan, Soekarno memutuskan untuk menggunakan batik sebagai simbol identitas Indonesia yang beragam.

Ia memerintahkan K.R.T. Hardjonagoro untuk menciptakan "Batik Indonesia" yang menggabungkan warna dan motif dari berbagai daerah di Indonesia.

Dengan demikian, batik dipresentasikan sebagai ikon negara dan bangsa yang baru lahir.

Pada Orde Baru, Soeharto melanjutkan promosi batik dan bahkan memperkuat peran batik sebagai identitas Indonesia.

Soeharto memerintahkan untuk mengenakan pakaian dengan motif batik khusus sebagai seragam nasional.

Hal ini membuat batik semakin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas Indonesia.

Pemerintahan Soeharto pada periode 1967 hingga 1998 juga membantu mempromosikan batik Indonesia secara global.

Pada masa pemerintahannya, batik menjadi pakaian formal untuk berbagai acara dan bahkan menjadi simbol bagi Indonesia di mata dunia.

Soeharto juga menghadiahkan batik kepada pemimpin dunia, seperti Nelson Mandela.

Pengakuan dari UNESCO pada 2009 sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia menandai momen penting dalam sejarah batik.

Pengakuan ini memperkuat status batik sebagai ikon budaya Indonesia yang tak tergantikan. Sejak itu, batik semakin populer di Indonesia dan diakui sebagai lambang budaya nasional yang sangat penting.

Referensi:

  • Febriani, R., Knippenberg, L., & Aarts, N. (2023). The Making of a National Icon: Narratives of Batik in Indonesia. Cogent Arts & Humanities.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com