Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. phil. Al Makin, S.Ag. MA, kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 1972 adalah Profesor UIN Sunan Kalijaga. Penulis dikenal sebagai ilmuwan serta pakar di bidang filsafat, sejarah Islam awal, sosiologi masyarakat Muslim, keragaman, multikulturalisme, studi minoritas, agama-agama asli Indonesia, dialog antar iman, dan studi Gerakan Keagamaan Baru. Saat ini tercatat sebagai Ketua Editor Jurnal Internasional Al-Jami’ah, salah satu pendiri portal jurnal Kementrian Agama Moraref, dan ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020. Makin juga tercatat sebagai anggota ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) sejak 2017. Selengkapnya di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al_Makin.

Lempar Batu, Lempar Sifat Negatif Diri Sendiri

Kompas.com - 03/07/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA anekdot dari pesantren saya di Bojonegoro, Jawa Timur, dulu. Seorang lurah pondok mbalah (membacakan teks Arab dengan makna Jawa) ke para santri lainnya.

Dia membaca Kitab Fathul Qarib, karya Abu Syujak, kitab klasik gundul tentang fiqh/hukum Islam yang perlu diberi makna Jawa kata per kata. Dia ambil bab istinjak (bersuci setelah buang air).

Sang lurah membaca “wal hajaru, lan ratu/dan ratu”. Para santri lainnya protes, “Bukan Gus, seingatku hajar itu watu/batu, bukan ratu”.

Huruf r/ra dan w/wau memang mirip-mirip, apalagi pentol wau-nya hilang karena terhapus tintanya.

Lurahnya merasa bersalah dan juga ingat. Tetapi dia ngeles: “Lha iya batunya gedhe-gedhe, ratunya batu”. Menang juga akhirnya dia.

Batu adalah alat dan senjata paling kuno dalam sejarah konflik manusia. Lurah pondok itu tidak salah melempar batu balik kepada kawan-kawan santrinya. Ratunya batu, besar-besar.

Batu lebih tua dari manusia. Batu seusia planet bumi itu sendiri, empat miliar tahun, menurut teori geologi dan astrofisika. Batu adalah formasi awal dalam proses kejadian planet ini.

Batu umum ditemukan di planet-planet yang sifatnya teritorial, keras, bukan gas raksasa seperti Jupiter, Saturnus, Neptunus, atau Uranus.

Manusia menjumpai batu dan menjadikannya senjata atau alat. Masa awal itu sering disebut zaman batu, era yang manusia kenal hanyalah batu saja, belum ditemukannya metal seperti baja, besi, timah atau emas.

Dua setengah juta tahun yang lalu makhluk sejenis manusia sudah menggunakan batu. Era itu disebut era batu. Baru tiga ribu SM manusia mulai intensif mengenal metal untuk peralatan sehari-hari dan senjata perang.

Di era Mesir kuno, batu dijadikan senjata meyerang musuh. Semacam katapel, lempar batu dengan tali, ditemukan di era Fir’aun Tutankhamen (meninggal 1325 SM).

Dalam perang kuno Pelopponesia di Yunani lima ratus tahun SM, ada unit tentara yang khusus terlatih dengan alat katapel ini.

Di era Romawi kuno pun, batu masih berperan, walaupun pedang, tameng, helm dan senjata-senjata dari metal sudah umum.

Batu bisa dilempar begitu saja, atau sling-shot (karet ditarik di atas kayu, semacam katapel). Semua tradisi sepertinya menceritakan lempar batu sebagai senjata.

Perang Mataram Islam di bawah Sultan Agung melawan Belanda pun melibatkan lempar batu dari gunung (1628-1629). Ada penggunaan lempar batu lain secara hukum adat.

Lempari batu juga umum di banyak tradisi untuk mempermalukan orang yang berbuat dosa.

Di Romawi kuno terjadi hukum seperti itu, orang yang dianggap bersalah dan berdosa, memalukan masyarakat dilempari batu.

Dalam Kitab Perjanjian Baru kitab Yohanes diceritakan Yesus (Nabi Isa) menemui wanita yang dituduh pendosa oleh masyarakat Yahudi dan Farisi.

Para pemuka agama menjajal Yesus untuk melempar batu duluan. Beliau menolak.

“Siapa saja di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Tantangan ini tidak terjawab. Semua merasa berdosa.

Beliau lanjutkan: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang pun yang menghukum engkau?” Dijawab, “Tidak ada, Tuan.”

Katanya: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi.” (Yoh 8:1-11).

Dalam hukum Islam pun berlaku seperti itu. Tradisi rajam, lempar batu bagi pendosa. Tetapi tafsir saat ini berkembang. Tidak lagi diperkenankan menyiksa orang dan bisa melanggar hak asasi manusia.

Intinya, lempar batu adalah cara mengusir musuh, pendosa, dan orang-orang jahat. Di zaman ini, di era damai setelah PBB berdiri, siapa musuh kita? Siapa yang berdosa dan jahat?

Ternyata adalah diri sendiri. Kalahkan diri sendiri, lempar sifat-sifat tamak, rakus, khawatir, takut, was-was, dan tidak jujur.

Dalam ritual lempar jumroh tiga fase: ula (pertama dan kecil), wustha (tengah), dan aqabah (terakhir dan besar), para jamaah haji berjubelan melempar tiga tembok perkasa modern, terbuat dari beton.

Pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah, para jamaah berjalan kaki dari penginapan di tenda Mina menuju gedung megah melewati dua lorong. Kira-kira 3 kilometer satu jalan, pulang pergi 6 kilometer.

Masing-masing lemparan 7 batu, kali tiga menjadi 21. Masing-masing diniatkan melempar iblis, sebagaimana Ibrahim, Hajar, dan Ismail melempari iblis yang menggoda. Ternyata, iblis itu ada dalam diri kita masing-masing, tidak pada orang lain.

Haji adalah nostalgia manusia kembali ke masa lalu, ke masa Ibrahim. Balik ke masa zaman batu, era kuno, waktu primordial perkembangan manusia awal.

Ibrahim konon hidup di era Babilonia, Sumeria, dan Mesir, ketika batu menjadi senjata menyerang musuh, manusia lain atau makhluk lain.

Zaman itu peperangan antarmanusia sering saling menyerang dan melempar, sebagaimana diceritakan dalam Kitab Perjanjian lama dan riwayat-riwayat Islam.

Saat ini musuh kita adalah diri sendiri, lemparlah sifat-sifat negatif dalam diri yang mengusik dan merugikan. Gantilah dengan sifat positif yang membuat diri kita bahagia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com