DALAM setiap doa haji selalu disebut, hajjan mabruran (haji yang mabrur). Begitu juga ucapan satu sama lainnya, mendoakan agar menjadi haji yang mabrur.
Mabrur merupakan kata sifat, yang bentuknya pasif (sighat maf’ul). Mabrur berasal dari kosa kata dasarnya birr (kebajikan).
Dalam ajaran tentang akhlak sering muncul kata itu, misalnya birr al-walidain (berbuat baik kepada dua orangtua). Itu adalah kewajiban pertama, taat, beradab, memperlakukan orangtua dengan kelayakan.
Hormat pertama adalah hormat pada Ibu dan Bapak sendiri. Itulah kata birr yang digunakan dalam bentuk sifat dalam haji mabrur.
Mabrur pun masih terkait dengan akhlak. Tepatnya adalah karakter, perilaku, dan sikap kita.
Haji penuh dengan ritual-ritual, tawaf (mengelili Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil antara dua bukit Safa dan Marwa), wuquf (berhenti di Arafah), mabit (menginap di Mina), lempar jumrah di Mina.
Semua itu bersifat ketahanan fisik menghadapi cuaca dan desakan jamaah bergelombang-gelombang. Luatan manusia di semua titik di semua penjuru Mekkah.
Hakikat selanjutnya dari ibadah haji adalah menata hati dan sikap. Mabrurnya haji tergantung dari sikap, akhlak. Itu adalah akibat dari semua upaya ritual dan doa.
Haji diukur dari pasca-ritual, yang berupa sikap dan amal yang birr (kebajikan) yang bisa mengangkat mabrur (diterima kebajikannya) atau tidak.
Selama menjadi bagian monitoring 2023, Penulis sangat hormat pada para petugas haji di lapangan, dari kesehatan, para dokter dan suster, pembimbing ibadah, pelindung jamaah, ketua kloter, ketua rombongan, ketua regu, pendamping lansia, pendorong kursi roda, koki dan petugas lain lapangan di sektor-sektor, seperti tenaga musiman dari mukimin Indonesia (residensi) Mekkah.
Penulis hormat dan terharu pada kesetiaan petugas terhadap kewajibannya dalam mengikuti mobilitas jamaah. Mereka berusaha sekuat tenaga melayani, bahkan melebihi kewajiban yang seharusnya.
Dalam puncaknya, di Arafah, Muzdalifah dan Mina, para petugas kelihatan matanya tidak segar. Wajahnya kusut. Baju seragam putihnya lungset. Celananya tidak hitam, tidak bersih lagi.
Itulah tanda mereka bekerja keras melayani jamaah. Itulah kebajikan (birr) yang bisa menjadi mabrur (terpenuhi kebajikan). Kebajikan adalah sikap dan amal kita pada orang lain. Itulah esensi haji.
Banyak cerita nyata, para petugas lansia sampai membersihkan kotoran dan membantu berpakaian. Mengajak bicara, mendengar dan melayani pertanyaan-pertanyaan orang yang sering lupa karena dimensia.
Para dokter yang jam kerjanya sudah di luar perhitungan. Para pasien datang terus tidak berhenti di KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia), kloter di masing-masing hotel, apalagi di Arafah, Mina, dan Muzdalifah.