Itulah mengapa Indische Partij dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kendati demikian, hal itu tidak menghentikan perjuangan para tokoh IP. Tahun 1913 menandai peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Baca juga: 6 Organisasi Pergerakan Nasional Indonesia
Dalam rangka perayaan itu, pegawai kolonial melakukan penarikan pajak dan iuran kepada rakyat Indonesia.
Hal itu tentunya melukai hati bangsa Indonesia. Sebagai respons, Ki Hajar Dewantara menulis kritik yang satire dan sarkas untuk pemerintah kolonial yang diberi judul Als ik eens Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda).
Tjipto Mangoenkoesoemo menulis artikel bernada sama yang dimuat dalam De Express pada 26 Juli 1913 berjudul Kracht of Vrees, yang berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutannya.
Begitu pula dengan Douwes Dekker, yang menyuarakan kritik melalui tulisan berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat).
Baca juga: Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker): Kehidupan dan Perjuangan
Dampak tulisan Als ik eens Nederlander was bagi eksistensi tokoh Indische Partij sangat besar.
Tulisan-tulisan yang bersifat sarkas dan sangat revolusioner tersebut menyebabkan tiga tokoh Indische Partij ditangkap oleh pemerintah Belanda.
Mereka dianggap sangat mengkhawatirkan dan menjadi ancaman, yang memicu sikap keras dari pemerintah Belanda.
Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat kemudian ditangkap dan dibuang ke Belanda.
Hal itu membuat Indische Partij menjadi melemah dan akhirnya bergantu nama menjadi Insulinde.
Referensi: