Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Irama Pancasila Ki Hadjar Dewantara

Kompas.com - 22/09/2022, 17:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KI Hadjar Dewantara adalah pendiri bangsa yang secara khusus menulis buku berjudul Pantjasila, terbit pada tahun 1950 (Jogjakarta: NV Usaha Penerbitan Patjinan 9).

Ki Hadjar merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) meskipun bukan anggota Panitia Sembilan perumus Pancasila.

Hanya saja Ki Hadjar merupakan tokoh pertama yang menyetujui pidato 1 Juni 1945 Soekarno. Persetujuan ini diinformasikan sendiri oleh Soekarno dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1965.

Buku Pantjasila setebal 33 halaman itu merupakan buah renungan Ki Hadjar Dewantara terhadap Pancasila, dengan pendekatan yang khas, yang beliau sebut dengan “irama”.

Sebagaimana sebuah lagu, irama membuat “isi dan bentuk” Pancasila menjadi “terdengar” berbeda, dengan irama-irama lain. Irama oleh karenanya merupakan cara membaca yang khas, yang dikembangkan oleh Ki Hadjar untuk membaca Pancasila melalui cara pandang tersendiri.

Baca juga: Hardiknas 2022: Siswa, Kenali Sisi Lain Ki Hadjar Dewantara

Banyak tokoh telah mengembangkan irama tersendiri dalam “mendendangkan” Pancasila. Soekarno sebagai penggali Pancasila menjadikan sila kebangsaan Indonesia sebagai nada utama bagi irama Pancasila.

Sila kebangsaan itu lalu diramu dengan prinsip kesejahteraan sosial yang menyifati, baik nasionalisme maupun demokrasi, sehingga melahirkan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sebuah bangunan kebangsaan dan demokrasi yang mengarahkan cita utamanya bagi terbangunnya struktur sosial berkeadilan.

Bung Hatta juga memiliki irama tersendiri dalam membaca Pancasila. Bagi Hatta, nada tertinggi dalam Pancasila ialah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Nada ketuhanan ini yang melantunkan sila-sila lainnya, sebagai “kelanjutan dari ketuhanan dengan perbuatan dalam praktik hidup”.

Di tangan Bung Hatta, irama Pancasila terdengar religius, membuahkan penghayatan transenden terhadap dasar negara.

Demikian pula Ki Hadjar Dewantara. Hanya saja berlainan dengan dua karib pendiri bangsa tersebut, Ki Hadjar menjadikan sila kemanusiaan sebagai “nada tertinggi” dari Pancasila. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar dasar negara dan ideologi bangsa, melainkan keluruhan hidup manusia, yang berkeadaban dan berkeadilan.

Bagi Ki Hadjar, sila kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial merupakan karakter kemuliaan manusia, sehingga ketika seseorang ingin menjadi manusia paripurna, ia harus nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial.

Dalam kaitan ini, Ki Hadjar lalu menempatkan sila ketuhanan di atas sila-sila kemanusiaan tersebut. Sebab menurut Ki Hadjar, ketuhanan merupakan “cahaya dan air” yang menerangi, menghidupkan, dan menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.

Pembacaan Ki Hadjar terhadap Pancasila yang melahirkan konsep tentang irama itu sangat penting kita pahami, di tengah kegersangan dalam cara membaca Pancasila.

Soekarno pencipta Pancasila

Sebelum menulis soal irama Pancasila, terlebih dahulu Ki Hadjar memberikan kesaksian terhadap kelahiran Pancasila. Sebagai anggota BPUPKI yang menyaksikan proses lahirnya dasar negara Pancasila, Ki Hadjar memberikan kesaksian terhadap peran Soekarno sebagai penggali, atau jika memakai istilah beliau, pencipta Pancasila.

Oleh karenanya, dalam tulisan tentang Pancasila tersebut, Ki Hadjar mendasarkan pemikiran dan penafsirannya tentang Pancasila berdasarkan gagasan Sukarno.

Baca juga: Makna Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Terkait peran Sukarno sebagai pencipta Pancasila, Ki Hadjar menulis:

Dalam uraian saya yang pertama telah saya majukan pertanyaan, apakah bentuk daripada Pancasila, yaitu misalnya urut-urutannya (dan bolehlah di sini saya tambahkan isinya), tidak dapat lain daripada yang termasuk dalam Purwaka UUD kita itu. Yaitu: 1. Ketuhanan, 2. Perikemanusiaan, 3. Kebangsaan, 4. Kerakyatan, 5. Keadilan sosial. Sudah saya uraikan bahwa hal itu, boleh kita sebut bentuk serta isinya, adalah haknya si pencipta”. (Ki Hadjar, 1950:8)

Dalam uraian ini, Ki Hadjar menyatakan bahwa bentuk dan isi Pancasila adalah hak dari pencipta Pancasila. Dalam paragraf tersebut, beliau belum menyebut nama dari sang pencipta. Penyebutan nama sang pencipta Pancasila, yakni Soekarno, dilakukan pada paragraf selanjutnya:

Pertanyaan lain tentang Pancasila itu ialah mengenai isinya. Apakah tidak ada sila-sila lain yang patut dimasukkan di dalamnya? Misalnya pernah ada yang bertanya mengapakah ‘kemerdekaan’ tidak termasuk di dalam Pancasila? Lain orang bertanya, apakah sebabnya ‘kebudayaan’ tidak ada di dalam Pancasila? Demikian seterusnya, orang bertanya atau dapat bertanya seperti yang tersebut itu. Bolehlah di sini saya ulangi, apa yang telah saya uraikan, yaitu: bahwa bentuk dan isi Pancasila itu sudah selayaknya merupakan gambaran sikap batinnya si pencipta. Kita tahu bahwa pencipta Pancasila kita itu tidak lain daripada Bung Karno sendiri. Pernah Dr. Radjiman Wedyodiningrat menerangkan, bahwa Pancasila itu pada suatu saat (yaitu dalam sidang Panitia Persiapan Indonesia Merdeka pada tahun 1945) terkeluar secara spontan (tak direncanakan lebih dulu) dari mulut Bung Karno. Seolah-olah ucapannya itu adalah ilham yang langsung timbul dari ujung hati sanubarinya. Bagaimana pun juga, kita menerima ucapan-ucapan itu sebagai kenyataan yang kita benarkan, kita akui dan kita sahkan secara yakin dan ihlas. Termasuknya Pancasila tadi ke dalam UUD kita, itu pun sudah membuktikan keistimewannya”. (Ki Hadjar, 1950:9)

Irama Pancasila

Pengakuan Soekarno sebagai pencipta Pancasila itu diletakkan dalam bahasan Ki Hadjar tentang bentuk, isi dan irama Pancasila. Yang dimaksud bentuk adalah susunan Pancasila berupa lima sila dimulai dari sila ketuhanan, hingga sila keadilan sosial.

Sementara isi Pancasila mengacu pada sila-sila Pancasila. Baik bentuk maupun isi Pancasila, menurut Ki Hadjar adalah karya ciptaan Soekarno. Akan tetapi dalam memaknai, mengembangkan dan melaksanakan Pancasila, Ki Hadjar menambahkan satu faktor lain selain bentuk dan isi, yakni irama.

Yang dimaksud irama adalah perspektif dalam membaca bentuk dan isi Pancasila melalui “pintu masuk” tertentu, yang mampu mengembangkan serta memperdalam pemaknaan terhadap Pancasila tanpa mengubah isi dari dasar negara tersebut.

Dalam kaitan ini, irama memang melakukan perubahan terhadap bentuk atau susunan dari Pancasila. Hanya saja perubahan susunan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengubah Pancasila, melainkan sekadar menjadi cara membaca Pancasila melalui perspektif tertentu dengan menempatkan satu sila sebagai nilai yang dominan dibanding sila-sila lain.

Terkait irama ini, Ki Hadjar menyatakan:

Untuk lengkapnya pandangan kita tentang memandang, mempelajari atau menyelidiki sesuatu soal, baiklah di sini saya tambahkan pula, bahwa sesudah ‘sifat’ serta ‘bentuk’ dan ‘isi’, masih ada pula suatu faktor atau sebab yang dapat mengakibatkan perbedaan antara dua hal atau keadaan, walaupun sifat serta bentuk dan isinya pada dua-duanya ada sama. Perbedaan yang masih nampak itu disebabkan, karena caranya melakukan, melaksanakan, memakai atau menggerakkan, pendek kata caranya mewujudkan laku atau tindakan masih ada bedanya antara yang satu dengan yang lain. Dalam ilmu kesenian hal inilah yang disebut gerak ‘irama’ atau ‘rhytmus’ yang dapat menentukan ‘watak’ atau ‘karakter’ (yaitu sifat utuhnya) tiap-tiap benda yang hidup dan bergerak”. (Ki Hadjar, 1950:7-8)

Dalam membaca Pancasila, Ki Hadjar menggunakan irama tersendiri yang berbeda dengan bentuk atau susunan Pancasila yang ada. Menurutnya:

Bagi orang lain boleh jadi menyetujui pokok dasarnya sepenuhnya bahkan sampai bentuk dan isinya, namun ingin menggunakan irama lain. Yaitu memakai urut-urutan lain, karena mendasarkan pikiran serta perasannya pada imbangan-imbangan yang lain. Bagi saya sendiri misalnya, memandang ‘perikemanusiaan’ lah yang berdiri sebagai pokok sarinya Pancasila. Dalam pandangan itu lalu secara ‘deduktif’ dapatlah pokok, sari atau puncak Pancasila itu kita pecah menjadi dasar-dasar lainnya. Atau apabila kita berpikir secara ‘induktif’, dasar ‘perikemanusiaan’ itu kita letakkan paling belakang sebagai kesimpulan”. (Ki Hadjar, 1950:8)

Maka dengan menjadikan perikemanusiaan sebagai pokok yang menyifati sila-sila lainnya, irama Pancasila ala Ki Hadjar Dewantara menjadi:

  1. Ketuhanan, menurut adab perikemanusiaan,
  2. Kebangsaan, yang berdasar pada perikemanusiaan,
  3. Kedaulatan rakyat, yang mengingati asas perikemanusiaan,
  4. Keadilan sosial, sesuai tuntutan adab perikemanusiaan,
  5. Keluhuran hidup perikemanusiaan, yakni pangkal-induknya. (Ki Hadjar, 1950:9)

Dengan irama seperti ini, maka Ki Hadjar Dewantara menggunakan sila kemanusiaan sebagai perspektif utama dalam menafsir Pancasila. Hal ini terdapat dalam penafsiran beliau yang memiliki beberapa pokok pikiran:

Pertama, sila ketuhanan menjadi nilai pertama yang ditegakkan menurut adab perikemanusiaan. Artinya nilai-nilai ketuhanan yang kita imani, harus diamalkan melalui keadaban kemanusiaan.

Baca juga: Arti Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup

Cara pengamalan terhadap nilai ketuhanan seperti inilah yang oleh Soekarno disebut dengan “ketuhanan yang berkebudayaan, yang berkeadaban dan berbudi pekerti luhur”. Dalam kaitan ini, Ki Hadjar menyatakan bahwa antara sila ketuhanan dan kemanusiaan memiliki hubungan yang sangat erat. Menurut dia:

Kemanusiaan boleh dianggap sebagai dasarnya keluhuran dan kehalusan hidup manusia, sedangkan ketuhanan adalah laksana sinar matahari dan air yang memberi hidup serta merupakan sendi yang perlu adanya, agar segala benih-benih kemanusiaan semua dapat terus tumbuh dengan sehat dan subur. Sekali lagi, ketuhanan adalah sebagai sinar dan air yang suci (bersih dan jernih) serta sebagai sendi (pagar-rambatan atau tulang punggung) yang menyuburkan dan menguatkan hidup tumbuh segala benih-benih perikemanusiaan”. (Ki Hadjar, 1950:21-22)

Melalui pernyataan itu  Ki Hadjar menegaskan bahwa bukan hanya nilai kemanusiaan harus menjadi tolok ukur dalam pengamalan nilai ketuhanan. Tetapi sebaliknya, nilai ketuhanan merupakan sendi, sinar matahari atau air yang menghidupkan serta menyuburkan nilai kemanusiaan.

Kedua, kebangsaan yang berdasar pada perikemanusiaan. Terkait hal ini, Ki Hadjar meletakkan kebangsaan yang mulai terbangun sejak momen Kebangitan Nasional, atau istilah beliau “Kebangunan Nasional” pada 20 Mei 1908 melalui pembentukan perhimpunan Budi Utomo, sebagai bagian dari praktik perikemanusiaan.

Pada satu sisi, kebangsaan menandai hidup manusia yang tidak terhenti pada kehidupan individual dan keluarga, namun meluas pada kepedulian terhadap nasib bangsa. Pada saat bersamaan, Ki Hadjar juga menciptakan batasan praktik kebangsaan agar tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk kebutuhan itu , Ki Hadjar memberikan garis-garis nilai kebangsaan sebagai berikut:

  1. Jangan sampai hidup-kebangsaan itu melanggar atau bertentangan dengan syarat-syarat perikemanusiaan; insyafilah bahwa kebangsaan itu bentuk khususnya kemanusiaan,
  2. Jangan sampai hidup-kebangsaan menindas hidup-pribadi manusia; baik lahir maupun batin; ingatlah pada sila-sila kedaulatan rakyat dan keadilan sosial,
  3. Hendaknya kita senantiasa bersendi kesucian seperti terkandung dalam sila ketuhanan. (Ki Hadjar, 1950:26)

Ketiga, keterkaitan sila demokrasi dan keadilan sosial sebagai wujud dari perikemanusiaan. Dalam kaitan ini, Ki Hadjar senada dengan Soekarno yang menyandingkan demokrasi dengan keadilan sosial.

Pada satu sisi demokrasi merupakan sistem politik yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena ia berangkat dari penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap rakyat. Pada saat bersamaan, demokrasi tersebut harus dibangun berdasarkan asas keadilan.

Untuk menggambarkan keterkaitan demokrasi dan keadilan sosial ini, Ki Hadjar mengutip istilah “sama rata sama rasa” yang dicetuskan oleh aktivis pergerakan, Mas Marko yang meninggal dunia dalam pembuangan di Boven-Digul.

Baca juga: Ki Hadjar Dewantara: Kehidupan, Kiprah, dan Semboyannya

Menurut Ki Hadjar, istilah “sama rata sama rasa” menggambarkan prinsip kesatuan demokrasi dan keadilan sosial di dalam Pancasila. Menurut beliau:

Saya yakin bahwa kita semua dapat merasai arti demokrasi dan keadilan sosial tadi dengan sebutan sama rata sama rasa. Sama rata berarti tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan yang lain.

Akan tetapi kadang-kadang terbukti bahwa sama rata itu belum tentu bersifat adil…Karena itulah asas demokrasi yang semata-mata mementingkan sama-ratanya sesuatu, harus dilakukan secara keadilan sosial yang menghendaki sama-rasanya”. (Ki Hadjar, 1950:29-30)

Yang dimaksud Ki Hadjar di sini adalah, bahwa demokrasi yang menempatkan semua orang setara di hadapan hukum dan pemerintahan (sama rata) harus ditegakkan melalui prinsip keadilan sosial. Prinsip ini tidak menghendaki penyamarataan hak kepada setiap orang, tetapi pemberian hak kepada setiap orang sesuai dengan kadar kebutuhannya.

Dalam praktik perumusan kebijakan misalnya, suara orang awam dengan cerdik cendikia tidak bisa disamaratakan, tetapi harus ditempatkan secara proporsional. Inilah yang dimaksud Ki Hadjar sebagai “sama rasa”, sehingga demokrasi kita bernuansa keadilan sosial.

Setelah meletakkan sila ketuhanan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial di urutan teratas, beserta keterkaitan antara sila-sila tersebut, Ki Hadjar lalu menempatkan nilai kemanusiaan sebagai sila kelima atau pangkal-induk dari Pancasila. Dengan cara ini, maka Ki Hadjar menafsir Pancasila melalui “irama kemanusiaan”, di mana Pancasila sebagai dasar negara merupakan tolok ukur bagi peradaban kehidupan manusia yang adi luhung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com