Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Gerakan 30 September dan Salah Perhitungan Aidit - (Bagian 2 dari 3 tulisan)

Kompas.com - 19/09/2022, 15:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Baca artikel sebelumnya: Gerakan 30 September dan Salah Perhitungan Aidit - (Bagian 1 dari 3 tulisan)

TAHUN 2008, selain deklasifikasi dokumen luar negeri China, juga menjadi tahun penting, setidaknya menurut saya, karena terbitnya buku Bradley Simpson berjudul Economist with Gun.

Melalui bukunya, Bradley mengungkap skema besar proyek politik Amerika Serikat (AS) dalam melahirkan konsep pembangunan ekonomi tandingan bergenre non-sosialis, termasuk untuk Indonesia. Indonesianis-Indonesianis seperti George McTurnan Kahin, Audrey Kahin, Anderson, McVey, Guy Parker, Cliford Geert, dan lainya, dikirim ke Indonesia untuk mendapatkan data obyektif atas kondisi Indonesia dalam payung proyek besar tersebut.

Proyek itu akhirnya melahirkan buku Walt Rustow, The Stages of Growth. Non Communist Manifesto, alias konsep pembangunan non-sosialis yang dipimpin militer (military led development), yang dijadikan kitab ekonomi oleh Mafia Berkeley dalam membantu Soeharto membangun ekonomi Indonesia.

Cornell Paper dan kepentingan Amerika

Artinya, para Indonesianis tersebut tidak bebas nilai dan tampaknya bekerja atas kepentingan AS. Dari buku Bradley Simpson, saya merasa mendapatkan jawaban pertanyaan yang ditanyakan John O Sutter saat menulis pengantar buku Victor Fic tentang mengapa Cornell Paper pada awalnya hanya dikonsumsi kalangan terbatas.

Baca juga: Abdul Haris Nasution, Jenderal yang Berhasil Lolos dari G30S

Cornell Paper dikeluarkan di awal tahun 1966 dan baru di-published tahun 1971. Sutter mengetahui bahwa laporan tersebut dibuat untuk kementerian luar negeri AS, tapi mempertanyakan motif di balik pembatasan penyebaraanya.

Karena itu, saya berkesimpulan bahwa memang laporan tersebut berada di bawah payung kepentingan AS. Baik Cornell Paper maupun Guy Parker, meskipun berbeda pendapat, tetapi pendapat keduanya sesuai dengan kepentingan AS.

Dengan mengatakan peristiwa 30 September 1965 sebagai masalah internal TNI Angkatan Darat (versi Cornell Paper) maupun mengatakan dalangnya adalah PKI (versi Guy Parker), keduanya secara langsung menepis kemungkinan AS terlibat.

Selain itu, alasan kedua, menurut hemat saya, ada kepentingan geopolitik AS yang terdukung dengan adanya Cornell Paper, yakni mendeeskalasi konflik perang dingin di Indonesia. Jika AS tidak terlibat, tak ada alasan Moskwa untuk terlibat lebih jauh, sehingga Indonesia tidak menjadi Vietnam.

Bukan hanya AS yang enggan bersitegang, Soviet pun bahkan lebih takut. Pasca krisis Kuba tiga tahun sebelum 1965, yang hampir menenggelamkan dunia ke dalam perang nuklir, Moskwa dan AS cenderung memilih jalan deeskalatif di berbagai lini dan keduanya sedang mengupayakan treaty penurunan tensi dalam rentang waktu 1963-1964.

Karena itu pula Soekarno gagal mendapat dukungan Soviet untuk berkonfrontasi dengan Malaysia dan permintaan pembuatan bom atom ditolak Breznev. Walhasil, Soekarno pindah ke Beijing, yang memang sedang panas dengan Moskwa dan hampir pasti mendukung negara manapun yang tidak didukung Moskwa.

Ketiga, dengan Cornel Paper yang juga dipercaya oleh China, maka eskalasi dengan China pun bisa dihindari. Seperti kita ketahui, sejak tahun pecah kongsi Beijing dan Moskwa, Amerika ingin mengekploitasinya, baik untuk memuluskan jalur damai di Vietnam maupun untuk memuluskan strategi "containment" alias pengucilan terhadap Moskwa.

Jadi saya meyakini, jika Amerika malah menambah panas hubungan dengan Beijing, maka tidak akan ada kunjungan Nixon ke China di tahun 1972 dan mungkin perang di Vietnam akan jauh lebih lama lagi.

Jadi jelas, karena adanya Cornell Paper, sangat membantu memuluskan AS  mendekati Mao dan mengisolir Moskwa.

Nah, setelah deklasifikasi dokumen kementerian luar negeri China untuk tahun 1965 tersebut, saya mulai melihat perubahan fokus para peneliti luar. Di tahun 2018, terbit buku The Army and the Indonesian Genocide. Mechanics of Mass Murder, karya Jeff Melvin.

Melvin dengan jelas mengatakan bahwa tidak ada bukti keterlibatan Soeharto dalam upaya kudeta 1 Oktober. Yang ditemukan Melvin, yang ia akui sebagai "smoking gun" alias bukti keras adalah keterlibatan langsung Soeharto dan TNI dalam pembunuhan masif kader PKI.

Di tahun yang sama, terbit buku The Killing Season. A History of the Indonesian Massacres 1965-66, karya Geofrey Robinson, murid McTurnan Kahin. Fokusnya sudah berubah ke peristiwa setelah kejadian 1 Oktober dan dengan jelas mendukung misi di balik "Cornell Paper", yakni melepaskan keterlibatan Amerika.

Saya menemukan kalimat "picik" khas Amerika dari buku beliau. "I am not suggesting that the United States or other foreign powers plotted the supposed coup or violence in advance. The evidence does not support such a claim. But I think it can be shown that in the absence of support from powerful states and in a different international context, the army’s program of mass killings and incarceration would not have happened."

Betapa piciknya! Ia tidak berani mengatakan adanya keterlibatan AS atau negara besar lainya dalam kudeta atau kekerasan setelahnya, tapi mengakui dengan jelas bahwa tanpa dukungan AS dan negara besar, aksi "mass killing" dari tentara tak akan terjadi.

Baca juga: Keterlibatan Inggris dalam Peristiwa G30S

Betapa piciknya. Bukankah tanpa sokongan dari Amerika pembunuhan masal tak akan terjadi. Lantas setelah terbukti bahwa AS memberikan dukungan, Amerika dikatakan tidak terkait dan tidak layak bertanggung jawab.

Padahal, AS sangat berwewenang mencegah itu terjadi, yakni dengan tidak memberi dukungan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com