KOMPAS.com - Agus Salim adalah pejuang kemerdekaan yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 27 Desember 1961, melalui Keppres Nomor 657 tahun 1961.
Semasa hidup, ia dikenal sebagai seorang politikus, jurnalis, dan diplomat dengan julukan "The Grand Old Man".
Agus Salim dijuluki "The Grand Old Man", karena prestasinya di bidang diplomasi dan kefasihannya dalam berbahasa asing.
Pasalnya, Agus Salim diketahui mengusai tujuh bahasa Asing, yaitu bahasa Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Baca juga: Diplomasi Agus Salim dalam Memperjuangkan Kemerdekaan RI
Agus Salim lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884 dengan nama Masyhudul Haq, yang berarti pembela kebenaran.
Ia merupakan putra dari Sutan Mohammad Salim, seorang jaksa dan hakim kolonial di Tanjung Pinang.
Sewaktu kecil, Agus Salim mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan lanjut ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, di mana ia lulus pada 1903 dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda.
Melihat prestasinya, ia berharap agar diberi beasiswa untuk sekolah kedokteran di Belanda. Namun, permohonannya tidak terkabul.
Oleh karena itu, Agus Salim, yang menguasai banyak bahasa asing sejak usia muda, memilih bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri, Riau.
Pada 1906, Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda.
Baca juga: Biografi BM Diah, Penyelamat Naskah Asli Proklamasi
Di Jeddah, ia juga memanfaatkan waktu untuk memperdalam ajaran Islam dan mempelajari diplomasi.
Setelah lima tahun, atau pada 1911, Agus Salim kembali ke Indonesia dan mendirikan Hollandsche Inlandsche School (HIS).
Agus Salim menekuni dunia jurnalistik sejak 1915, dengan menjadi redaktur di Harian Neratja.
Setelah itu, ia diangkat menjadi ketua redaksi. Kegiatannya di bidang jurnalistik terus berlangsung hingga menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.
Agus Salim juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan menjadi redaktur di harian Moestika di Yogyakarta.
Baca juga: Syafruddin Prawiranegara: Biografi, Kebijakan, dan Pemberontakan