KOMPAS.com - Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan oleh pejuang laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan.
Beberapa tokoh perempuan yang ikut terlibat dalam pertempuran dalam melawan penjajah, misalnya seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan masih banyak lainnya.
Selain terjun dalam medan pertempuran, sejak awal abad ke-20, banyak terbentuk berbagai organisasi perempuan.
Latar belakang kemunculan organisasi perempuan didorong dengan adanya penerapan kebijakan Politik Etis oleh Belanda.
Secara tidak langsung, penerapan kebijakan Politik Etis telah menyadarkan kaum perempuan Indonesia untuk ikut memperjuangkan kesejahteraan bangsa.
Kaum perempuan ikut berjuang meraih kemerdekaan Indonesia dengan cara memajukan status perempuan pribumi di bidang sosial, politik, dan pendidikan.
Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan
Salah satu tokoh perempuan yang ikut bertempur di medan perang melawan penjajah adalah Cut Nyak Dien.
Pada 8 April 1873, Perang Aceh resmi dimulai. Cut Nyak Dien, sebagai putri Aceh, pun terdorong untuk ikut melawan Belanda, yang telah membakar tempat ibadahnya.
Bersama dengan suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga, ia ikut bertarung melawan Belanda di garis depan.
Nahasnya, pada 1878, Teuku Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien tidak menyerah, ia terus berjuang melawan Belanda dengan suami keduanya, Teuku Umar.
Cut Nyak Dien, yang berjuang hingga akhir hayatnya, mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1964.
Tidak hanya Cut Nyak Dien, beberapa tokoh perempuan lain yang juga ikut dalam pertempuran melawan penjajah ialah Nyi Ageng Serang dan Martha Christina Tiahahu.
Baca juga: Biografi Cut Nyak Dien, Pejuang Wanita yang Ditakuti Belanda
RA Kartini merupakan tokoh yang dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan karena ia yang melahirkan Kongres Perempuan.
Lewat Kongres Perempuan, RA Kartini banyak menyampaikan tulisan-tulisannya yang sangat menginspirasi dan berhasil mengobarkan semangat perjuangan para perempuan Indonesia.
Semasa hidupnya, RA Kartini terus memperjuangkan keseteraan perempuan. Kegigihannya pun membuahkan hasil, yaitu didirikannya Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912.
Baca juga: Raden Dewi Sartika: Kehidupan, Gagasan, dan Kiprahnya
Sebelum sekolah yang didirikan Yayasan Kartini, pada 1904, untuk pertama kalinya, berdiri sebuah sekolah khusus perempuan bernama Sakola Istri.
Sakola Istri dibentuk oleh Raden Dewi Sartika, yang banyak mengajarkan para perempuan cara merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.
Kemudian, pada 1912, terbentuk organisasi perempuan pertama di Indonesia, yaitu Putri Mardika.
Organisasi Putri Mardika bertujuan untuk membina para perempuan dalam bidang pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan hidup para perempuan pribumi.
Salah satu program yang dilakukan Putri Mardika guna memajukan pendidikan adalah beasiswa.
Program beasiswa diharapkan dapat menjadi penunjang pendidikan kaum perempuan pribumi.
Para tokoh Putri Mardika kerap menerapkan gagasan RA Kartini sebagai landasan pergerakan organisasi.
Baca juga: Putri Mardika: Latar Belakang, Peran, dan Pengurus
Pada 1912, berdiri sebuah surat kabar perempuan bernama Soenting Melajoe yang didirikan oleh Ruhana Kuddus.
Lewat Soenting Melajoe, Ruhana Kuddus banyak menulis kritik terhadap budaya patriarki, sepeti menikah di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan untuk mengakses perekonomian.
Beberapa organisasi perempuan yang dibentuk untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut.
Baca juga: Sejarah Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia
Berikut ini adalah beberapa tokoh perempuan Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.