Meski telah berbentuk kerajaan, penguasa Tayan tidak memakai gelar raja atau sultan, tetapi bergelar pangeran atau panembahan. Hal ini dilakukan karena masih menghormati Matan, Tanjungpura, dan Majapahit.
Baca juga: Kerajaan Landak: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan
Setelah berdiri dan berkembang cukup lama, Kerajaan Tayan terlibat konflik dengan kerajaan Landak, Pontianak, dan Sanggau.
Selain itu, kerajaan ini juga pernah terlibat perselisihan dengan orang-orang Tionghoa yang datang dari wilayah Bengkayang.
Pada 1858, Kerajaan Tayan mulai terlibat perselisihan dengan Belanda, yang berusaha mengklaim wilayahnya sebagai kekuasaan mereka.
Sebelum terlibat perselisihan, Tayan dan Belanda sempat melakukan hubungan pada masa pemerintahan Panembahan Nata Kusuma (1809-1825).
Konflik dengan Belanda itu baru meredam pada 1890, di era pemerintahan Gusti Muhammad Ali.
Baca juga: Kerajaan Mempawah: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan
Kerajaan Tayan tetap berdaulat meski dalam pengaruh Belanda hingga masa pendudukan pada 1942.
Pada masa itu, Kerajaan Tayan diperintah oleh Gusti Jafar, yang akhirnya dibunuh Jepang pada 1944. Setelah itu, tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Gusti Ismail, yang bergelar Panembahan Pakunegara.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Tayan menjadi daerah swapraja hingga 1960. Hal ini mengakibatkan vakumnya kerajaan karena masuk ke wilayah Indonesia.
Setelah lama vakum, istana Tayan menjadi tidak terurus. Barulah pada 2012, Gusti Yusri diangkat dengan gelar Panembahan Anom Pakunegara XIV.
Pengangkatan raja ini bukan untuk meneruskan kekuasaan politik kerajaan, melainkan untuk meneruskan kebudayaan Kerajaan Tayan supaya tidak hilang.
Baca juga: Kerajaan Jongkong: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan
Referensi: