Sebagai respon atas undangan Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan, Hadhrat Khalifatul Masih II mengutus Maulana Rahmat Ali HAOT ke Indonesia.
Pada Oktober 1925, Maulana Rahmat tiba di Tapaktuan, Aceh. Kedatangannya ini menandai diletakkannya fondasi gerakan Ahmadiyah di Indonesia.
Maulana Rahmat sendiri menjalani tugas sebagai ulama di Indonesia hingga 1950. Setelah itu, Ahmadiyah terus menyebar ke seluruh Nusantara.
Berawal dari Aceh, gerakan ini lantas masuk ke berbagai provinsi di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Pada 1928, tokoh Muhammadiyah, Raden Ngabehi HM. Djojosoegito dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia.
Djojosoegito dan Wahab Chasballah adalah saudara sepupu Hasyim Asy Ari, pendiri NU (Nahdlatul Ulama) sekaligus kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Djojosoegito kemudian menjadi ketua pertamanya, dan terdapat nama Efran Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah) sebagai pengurus.
Dengan demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan Ahmadiyah Indonesia berasal dari keturunan yang sama.
Dua tahun kemudian atau pada 1930, Ahmadiyah Indonesia diakui oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Apa Bedanya Sunni dan Syiah?
Jamaah Muslim Ahmadiyah memiliki keyakinan sedikit berbeda, yang pada akhirnya menimbulkan banyak kritik dari organisasi Islam sendiri ataupun pemuka agama lain.
Penganut Ahmadiyah percaya bahwa Yesus tidak meninggal setelah disalib, tetapi sadar tiga hari kemudian dan bertemu dengan murid-muridnya.
Setelah itu, Yesus pergi ke Srinagar dan Kashmir untuk mengembangkan ajarannya hingga meninggal pada usia 120 tahun.
Dari wahyu yang diklaim didapat oleh Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, Nabi Isa juga tidak akan hidup lagi pada akhir zaman.
Akan tetapi, ada orang lain yang datang dengan sifat dan cara seperti Nabi Isa, yaitu Ghulam Ahmad sendiri orangnya.
Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, Ghulam Ahmad dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan pendirinya sebagai nabi.