KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dibentuk pada 24 Juni 1960.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong atau disingkat DPR-GR, dibentuk pada era Demokrasi Terpimpin.
DPR-GR berdiri berdasarkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 sebagai pengganti DPR Peralihan yang dibubarkan dengan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960.
Baca juga: DPR, MPR, dan DPD, Fungsi dan Wewenangnya
Sejak Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, sistem Demokrasi Terpimpin mulai diterapkan di Indonesia.
Selama periode 1959-1966, banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Pengertian "terpimpin" sendiri dalam UUD 1945 berarti bahwa pimpinan terletak di tangan presiden selaku pemimpin besar revolusi.
Akibatnya, lembaga-lembaga negara seperti DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA tidak memperoleh proporsi yang semestinya.
Presiden pun membubarkan DPR setelah mengetahui hasil Pemilu 1955.
Pembubaran DPR ini berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960 Tanggal 5 Maret 1960.
Pembubaran ini terjadi karena DPR tidak menyetujui RAPBN untuk tahun 1960 yang diajukan pemerintah.
Dengan Keputusan Presiden RI No. 155 Tahun 1960, anggota DPR hasil Pemilu 1955 secara resmi dihentikan.
Kemudian, melalui Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Baca juga: DPR: Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Disahkan dalam Waktu Dekat
Sebetulnya, dibentuknya DPR-GR ini bertentangan dengan UUD 1945, karena:
Selain bertentangan dengan UUD 1945, DPR-GR juga memiliki kelemahan di bidang legislatif.
DPR-GR kurang sekali dalam memakai hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Selain itu, DPR-GR juga sudah membiarkan badan eksekutif mengadakan penetapan-penetapan presiden atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, seakan-akan Dekrit Presiden merupakan sumber hukum baru.
Dekrit Presiden hanya berperan untuk menuntun langkah kembali ke UUD 1945.
Oleh sebab itu, jabatan pimpinan DPR-GR dipisahkan dengan jabatan eksekutif.
Tujuan jabatan pimpinan DPR-GR dipisahkan dengan jabatan eksekutif adalah untuk pemurnian pelaksanan UUD 1945.
Kemudian, DPR-GR juga sudah menerima baik Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 19 Tahun 1964 yang memberi wewenang kepada Presiden untuk ikut campur soal pengadilan.
Pada akhirnya, DPR-GR dihentikan, bersamaan dengan berubahnya rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.
Referensi: