Artinya, pada abad ke-15, nama itu sudah ada jauh sebelum Pangeran Angke ada di Jayakarta.
Baca juga: Geger Cilegon 1888: Latar Belakang dan Jalannya Perang
Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunn Tionghoa yang dipekerjakan sebagai tukang pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut Pulau Jawa.
Mereka bekerja sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.
Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia pun menguatkan ekonomi dan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa.
Pada 1740, jumlah orang Tionghoa di Batavia mencapai lebih dari 10.000 orang.
Karena meledaknya jumlah imigran China di Jawa, akhirnya kebijakan deportasi pun diperketat, terutama setelah pecahnya epidemic malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon.
Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan tanggal 25 Juli 1740, warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (Sri Lanka).
Ancaman deportasi ini lantas membuat orang Tionghoa resah yang dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula.
Menanggapi keresahan tersebut, dalam sebuah pertemuan Dewan Hindia, Badan Pemimpin VOC, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan.
Pernyataan Valckenier ini diberlakukan tanggal 7 Oktober 1740, setelah ratusan orang keturunan Tionghoa membunuh 50 pasukan Belanda.
Penguasa Belanda pun mengirim pasukannya dan mengambil semua senjata dari warga Tionghoa.
Dua hari kemudian, kelompok etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar.
Sementara itu, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa menggunakan Meriam.
Kekerasan ini pun menyebar dengan sangat cepat dan mmebuat banyak orang Tionghoa tewas.
Tanggal 11 Oktober, Valckenier telah mengumumkan pengampunan untuk orang Tionghoa, namun kelompok pasukan tetap terus melancarkan aksinya hingga 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa aksi tumpah darah harus dihentikan.
Dari peristiwa ini, diperkirakan lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa tewas. Jumlah orang yang selamat tidak pasti, diduga dari 600 sampai 3.000 orang yang selamat.
Referensi: