Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petisi Sutardjo: Latar Belakang, Isi, Reaksi, dan Penolakan

Kompas.com - 12/08/2021, 15:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Petisi Sutardjo digagas oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada 15 Juli 1936. 

Petisi ini dibuat karena adanya rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat terhadap pemerintah akibat kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. 

Isi dari petisi ini adalah pemberian kepada Indonesia sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas Pasal 1 UUD Belanda.

Akan tetapi, Petisi Sutardjo ditolak pada 14 November 1938, karena bangsa Indonesia dianggap masih belum matang untuk memerintah diri sendiri. 

Baca juga: Mengapa LBB Gagal Mewujudkan Perdamaian Dunia?

Latar Belakang

Tercetusnya Petisi Sutardjo didasari oleh rasa ketidakpuasan rakyat akan kebijakan pemerintahan yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal de Jonge. 

Soetardjo kemudian mengusulkan petisinya pada 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu Wilhelmina, serta Staten Generaal (Parlemen) di Belanda. 

Petisi ini juga ditandangani oleh IJ Kasimo, GSSJ Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong. 

Baca juga: Yayasan Amai Setia: Latar Belakang dan Perkembangannya

Isi

Isi Petisi Sutardjo adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda di mana para anggotanya memiliki hak yang sama. 

Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas Pasal 1 UUD Belanda.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Kerajaan Belanda meliputi wilayah Belanda, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao. 

Pelaksanaannya akan dilakukan berangsur-angsur dalam waktu 10 tahun sembari menyiapkan kemerdekaan Indonesia. 

Selain itu, Sutardjo juga beranggapan penting untuk memiliki hubungan baik antara Indonesia dengan Belanda. 

Agar hubungan keduanya berhasil, maka perlu dilakukan perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Indonesia. 

Adapun perubahan-perubahan yang dimaksud adalah:

  • Pulau Jawa dijadikan satu provinsi
  • Sifat dualisme dalam pemerintahan dihapus
  • Gubernur Jenderal diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan 
  • Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
  • Volksraad dijadikan sebagai parlemen yang sesungguhnya
  • Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang berasal dari Indonesia.

Baca juga: Pralaya Medang, Serangan yang Meruntuhkan Kerajaan Mataram Kuno

Reaksi

Usul dari petisi ini kemudian mendapatkan reaksi baik dari pihak Indonesia maupun Belanda.

Pers Belanda menganggap petisi ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya terjadi.

Golongan reaksioner Belanda juga beranggapan bahwa Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. 

Sedangkan pihak Indonesia beranggapan bahwa pemerintah memang bermaksud untuk selalu meningkatkan peran rakyat dalam mengendalikan pemerintahan. 

Setelah banyak melewati pro dan kontra, tanggal 17 September 1936, Petisi Sutardjo diterima untuk dibicarakan kembali dalam sidang khusus. 

Sidang khusus berlangsung hingga 29 September 1936. Usai persidangan, diadakanlah pemungutan suara. 

Petisi Sutardjo disetujui oleh volksraad (dewan rakyat) dengan perbandingan 26 suara setuju dan 20 menolak. 

Kemudian, tanggal 1 Oktober 1936, petisi yang telah menjadi petisi volksraad ini dikirim kepada Ratu, Staten Generaal, dan Menteri Koloni di Belanda. 

Sementara sedang menunggu keputusan diterima atau tidak, pada persidangan volksraad Juli 1937, Sutardjo memberi usulan baru tentang rencana Indonesia, Indonesia berdiri sendiri. 

Rencana ini akan dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. 

Usulan baru ini juga akan kembali didiskusikan oleh pemerintah Belanda, apakah akan diterima atau ditolak. 

Baca juga: Mengapa Belanda Tidak Mengakui Kemerdekaan Indonesia?

Petisi Ditolak

Setelah berunding cukup lama, dalam persidangan volksraad pada Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda telah menganggap bahwa petisi ini lebih baik ditolak. 

Alasannya, karena petisi ini memiliki isi yang kurang jelas. Mengingat juga bahwa belum dapat dipastikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. 

Untuk itu, Gubernur Jenderal Tjarda menyarankan bahwa petisi ini harus ditolak. 

Akhirnya, melalui keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, Petisi Sutardjo ditolak oleh Ratu Wilhelmina. 

Alasan penolakannya antara lain bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri. 

Referensi:

  • Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. (2019). Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (1900-1942). Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com