KOMPAS.com - Masa pemerintahan Kerajaan Kediri kerap disebut sebagai zaman keemasan Jawa Kuno, karena menghasilkan karya-karya sastra berbentuk kakawin yang berkualitas tinggi.
Salah satu karya sastra yang dimaksud adalah Kitab Bharatayuddha, yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada zaman kekuasaan Raja Jayabaya (1135-1159 M).
Kitab ini selesai ditulis pada 1079 Saka atau tepatnya 6 November 1157 Masehi.
Ceritanya merupakan penggalan dari Kitab Mahabharata yang mengisahkan tentang perang 18 hari antara Pandawa dan Kurawa di Padang Kuruksetra yang dikenal sebagai Perang Bharatayuddha.
Bharatayuddha adalah perang dahsyat antara dua kubu keturunan Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa di medan Kuruksetra.
Kisahnya tertuang dalam epos Mahabharata yang ditulis oleh Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.
Di Indonesia, kisah Mahabharata ditulis ulang di berbagai daerah sejak zaman kerajaan dengan penyesuaian kondisi sosial budaya setempat.
Oleh karena itu, cerita Mahabharata semakin berkembang di nusantara dengan cerita yang tidak lagi sama persis seperti aslinya.
Pada masa Kerajaan Kediri, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menggubah Kitab Bharatayuddha bersama-sama.
Bagian permulaan sampai munculnya Prabu Salya di medan perang adalah karya Mpu Sedah, sementara sisanya diteruskan oleh Mpu Panuluh.
Konon, ketika Mpu Sedah ingin menuliskan kecantikan Dewi Setyawati, permaisuri Prabu Salya, ia membutuhkan contoh.
Kemudian diutuslah putri Raja Jayabaya sebagai contoh, tetapi Mpu Sedah justru berbuat kurang ajar.
Karena insiden tersebut, ia dihukum dan karyanya harus diberikan kepada orang lain.
Mpu Sedah pun meminta Mpu Panuluh untuk melanjutkannya. Peristiwa ini disebutkan pada bagian akhir dalam Kakawin Bharatayuddha.
Baca juga: Kitab Ramayana: Penulis, Isi, dan Kisahnya
Isi Kitab Bharatayuddha memuat kisah tentang peperangan antara Pandawa dan Kurawa.