Kemudian digabungkan dengan sistem pondok pesantren bernama Dar al-Qalam.
Sebulan kemudian, Sabtu, 20 Januari 1968, dimulailah proses belajar mengajar.
Sayangnya, sistem yang ia terapkan di pondok pesantrennya ini menarik reaksi negatif dari masyarakat sekitar.
Mewajibkan para santrinya berbahasa Indonesia dan meninggalkan bahasa Sunda dianggap sebagai mimpi yang akan memindahkan Jakarta ke Kampung Gintung.
Semenjak itu tantangan pun terus berdatangan.
Pada akhir 1970-an, semakin banyak santri yang datang ke pondok pesantrennya dari berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, dan Karawang.
Ketokohannya sebagai pemimpin pondok pesantren mulai terlihat.
Berkat jiwa pemimpinnya, Rifai pun diterima di Institus Agama Islam Negeri (IAIN) di Serang, Banten.
KH Ahmad Rifai wafat pada 15 Mei 1997 di atas sajadah dan pakaian salatnya akibat serangan jantung.
Baca juga: Radin Inten II: Masa Muda, Perjuangan, dan Akhir Hidup
Selama masa hidupnya, Rifai telah meninggalkan karya sebagai berikut:
Lembaga pendidikan
Tulisan