Selanjutnya, ia pun membentuk kelompok baru bernama Aisyiyah, diambil dari istri Muhammad Aisha.
Gerakan ini bertujuan untuk terlaksananya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dalam lingkungan masyarakat perempuan.
Kelompok baru ini diresmikan pada 22 April 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai ketua.
Lima tahun kemudian, organisasi ini tergabung dalam Muhammadiyah.
Adapun usaha dari organisasi Aisyiyah yaitu:
Baca juga: Harun Thohir: Kehidupan, Tugas, dan Hukuman Gantung di Singapura
Setelah kematian Ahmad Dahlan pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan keaktifannya di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Pada 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.
Nyai Ahmad Dahlan menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi semacam ini.
Pada 1934, ia lanjut memimpin Aisyiyah.
Semasa penjajahan Jepang, Aisyiyah dilarang bekerja dengan perempuan oleh Ordo Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943.
Ia bekerja di sekolah dan berjuang menjaga siswanya agar tidak dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Selama Revolusi Nasional Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan mengelola dapur umum rumahnya untuk para tentara.
Ia juga turut mempromosikan dinas militer kepada murid-muridnya.
Tidak berhenti di situ, Nyai Ahmad Dahlan turut serta berpartisipasi dalam diskusi tentang perang dengan Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno.
Baca juga: Kegagalan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada 31 Mei 1946. Jenazahnya disemayamkan di Masjid Kauman di Yogyakarta.
Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar Pringgodigo bersama Menteri Agama, Rasyidi, mewakili pemerintah dalam pemakamannya.
Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dideklarasikan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto berdasarkan Surat Keppres No 42/TK/1971.
Referensi: