Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyai Ahmad Dahlan: Masa Muda, Kiprah, dan Akhir Hidup

Kompas.com - 28/05/2021, 19:10 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Nyai Ahmad Dahlan atau yang bernama asli Siti Walidah adalah tokoh pergerakan emansipasi wanita. 

Siti Walidah adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. 

Ia menggagaskan pemikirannya mengenai pendidikan yang dikenal dengan konsep "catur pusat". 

Catur Pusat adalah formula pendidikan yang menyatukan empat komponen, yaitu:

  1. Pendidikan di lingkungan keluarga
  2. Pendidikan di dalam lingkungan sekolah
  3. Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat
  4. Pendidikan di daam lingkungan tempat ibadah

Gagasan ini kemudian dapat diwujudkan menjadi sebuah sekolah. 

Baca juga: Janatin alias Usman: Kehidupan, Karier Militer, dan Bom di Singapura

Kehidupan

Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1872. 

Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota dari Kesultanan Yogyakarta. 

Siti Walidah pun bertumbuh di lingkungan keluarga yang religius. 

Ia menempuh pendidikan belajar di rumah dalam berbagai aspek Islam, termasuk bahasa Ara dan al-Qur'an.

Nyai Ahmad Dahlan pun menikah dengan Ahmad Dahlan. Saat itu, Ahmad Dahlan tengah sibuk mengembangkan kelompok Islam. 

Alhasil, Nyai Ahmad Dahlan pun ikut melakukan perjalanan bersama sang suami.

Baca juga: Wilhelmus Zakaria Johannes: Masa Muda, Kiprah, dan Akhir Hidup

Kiprah

Sopo Tresno 

Pada 1914, Nyai Ahmad Dahlan membentuk grup doa bernama Sopo Tresno, yang artinya Siapa Cinta. 

Ia bersama suaminya, Ahmad Dahlan, mengambil giliran untuk memimpin grup ini.

Setelah itu, Nyai pun semakin berfokus pada ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah perempuan.

Aisyiyah 

Bersama suami dan tokoh Muhammadiyah lainnya, Nyai Ahmad Dahlan membahas tentang formalisasi Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan. 

Selanjutnya, ia pun membentuk kelompok baru bernama Aisyiyah, diambil dari istri Muhammad Aisha. 

Gerakan ini bertujuan untuk terlaksananya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dalam lingkungan masyarakat perempuan. 

Kelompok baru ini diresmikan pada 22 April 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai ketua.

Lima tahun kemudian, organisasi ini tergabung dalam Muhammadiyah. 

Adapun usaha dari organisasi Aisyiyah yaitu:

  • Mengajarkan dan mengadakan dakwah Islam
  • Memajukan pendidikan pengajaran
  • Menghidupkan masyarakat tolong-menolong
  • Memelihara dan memakmurkan tempat-tempat ibadah dan wakaf
  • Mendidik dan mengasuh anak-anak dan kaum muda perempuan supaya kelak menjadi putri Islam yang berarti
  • Mengadakan siaran penerbitan

Baca juga: Harun Thohir: Kehidupan, Tugas, dan Hukuman Gantung di Singapura

Muhammadiyah dan Aisyiyah

Setelah kematian Ahmad Dahlan pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan keaktifannya di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah.

Pada 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.

Nyai Ahmad Dahlan menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi semacam ini.

Pada 1934, ia lanjut memimpin Aisyiyah. 

Semasa penjajahan Jepang, Aisyiyah dilarang bekerja dengan perempuan oleh Ordo Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943. 

Ia bekerja di sekolah dan berjuang menjaga siswanya agar tidak dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang. 

Selama Revolusi Nasional Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan mengelola dapur umum rumahnya untuk para tentara. 

Ia juga turut mempromosikan dinas militer kepada murid-muridnya. 

Tidak berhenti di situ, Nyai Ahmad Dahlan turut serta berpartisipasi dalam diskusi tentang perang dengan Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno.

Baca juga: Kegagalan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin

Akhir Hidup 

Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada 31 Mei 1946. Jenazahnya disemayamkan di Masjid Kauman di Yogyakarta. 

Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar Pringgodigo bersama Menteri Agama, Rasyidi, mewakili pemerintah dalam pemakamannya.

Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dideklarasikan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto berdasarkan Surat Keppres No 42/TK/1971. 

Referensi: 

  • Samsu Hidayat, dkk. (2010). Studi Kemuhammadiyahan, kajian Historis, Iodeologi, dan Organisasi. Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-ilmu Dasar (LPID) Universitas Muhammadiyah Surakarta. h. 138.
  • Hajar Nur Setyowati & Mu’arif. (2014). Srikandi-srikandi Muhammadiyah ‘Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. h.51-52.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com