Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Urip Sumoharjo: Masa Muda, Karier Militer, dan Perjuangannya

Kompas.com - 12/05/2021, 16:09 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Urip Sumoharjo adalah seorang jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia. 

Urip berupaya untuk menyatukan kekuatan-kekuatan kelompok militer yang terpecah belah di Indonesia. 

Namun, pada 1938, karena merasa lelah dengan kurang kepercayaan pemerintah terhadap militer dan manuver politik, Urip akhirnya mengundurkan diri.

Urip yang mengidap lemah jantung wafat beberapa bulan setelahnya. 

Ia pun diberi penghargaan dari pemerintah Indonesia termasuk gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 1954. 

Baca juga: Dr. Moewardi: Kehidupan, Perjuangan, dan Jasa-jasanya

Kehidupan

Urip Sumoharjo terlahir dengan nama Muhammad Sidik. Ia lahir di Sindurjan, Purworejo, Hindia Belanda, 22 Februari 1893.

Ia merupakan putra pertama dari pasangan Sumoharjo, seorang kepala sekolah, dan istrinya, putri dari Raden Tumenggung Wijoyokusumo. 

Sejak kecil, Urip telah menunjukkan kualitasnya untuk menjadi seorang pemimpin, di mana ia memimpin kelompok anak-anak di lingkungannya saat bermain bola.

Urip pun bersekolah di sekolah untuk suku Jawa yang dikepalai oleh ayahnya sendiri.

Oleh karena itu, Urip pun menerima perlakuan khusus yang membuat dirinya menjadi nakal dan berpuas diri. 

Karena kenakalannya, nama Sidik pun diganti menjadi Urip yang berarti hidup. 

Urip dikirim ke Sekolah Putri Belanda atau Europese Lagere Meisjesschool, karena sekolah untuk putra sudah penuh. 

Setelah setahun belajar di sekolah putri, Urip menjadi lebih tenang. 

Tahun terakhirnya di sekolah dasar, Urip mendatangi teman ayahnya yang merupakan seorang mantan tentara yang pernah bertugas di Aceh. 

Ia pun mendapat banyak cerita dari pria tersebut yang kemudian membuat Urip terinspirasi untuk bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) atau angkatan perang kolonial Hindia Belanda. 

Baca juga: Fakhruddin: Kehidupan, Kiprah Politik, dan Sumbangsih di Bidang Agama

Pendidikan

Pada 1908, Urip melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (Pleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren atau OSVIA). 

Tahun terakhirnya di OSVIA, Urip memutuskan untuk mendaftar ke akademi militer di Meester Cornelis, Batavia. 

Keinginan Urip mendaftar di akademi militer ini awalnya ditentang oleh sang ayah, namun setelah tidak berhasil untuk membujuk putranya, sang ayah pun menyetujui keputusan Urip.

Pada Oktober 1914, Urip pun lulus dari akademi militer dan menjadi letnan dua di KNIL.

KNIL

Urip diserahi jabatan pemimpin Batalion XII di Meester Cornelis, Batavia. 

Pada saat dipindahtugaskan ke Balikpapan, Urip dipromosikan menjadi letnan satu. 

Namun, ia harus menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda, karena ia berasal dari kalangan pribumi. 

Setelah Balikpapan, Urip dipindah ke Malinau. Ia berpatroli di Kerajaan Sarawak yang dikuasai Hindia Belanda dan Inggris. 

Ia bertugas untuk mencegah konflik dan pengayauan atau praktik pemenggalan kepala manusia antar suku Dayak. 

Pada 1923, Urip ditempatkan di kampung halamannya Purworejo, karena di tempat sebelumnya, Borneo, rumah Urip telah dibakar habis. 

Dua tahun kemudian, September 1925, Urip dipindah ke Magelang dan bertugas di Maréchaussée te Voet, sebuah unit militer bentukan KNIL.

Setelah Urip menikah pada 30 Juni 1926, ia dipindahkan ke Ambarawa. 

Di sana ia bertugas untuk membangun kembali unit KNIL yang sebelumnya telah bubar. 

Ia pun dipromosikan menjadi kapten. 

Pada 1933, Urip dikirim ke Padang Panjang di Sumatera untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. 

Urip dipromosikan untuk menjadi mayor. 

Setahun kemudian, ia ditempatkan Purworejo. Namun, pada pertengahan 1938, Urip bersitegang dengan bupati setempat, sehingga ia dipindah ke Gombong. 

Namun, Urip menolak untuk dipindah ke Gombong dan memutuskan keluar dari KNIL dan pindah ke Yogyakarta.

Baca juga: Cipto Mangunkusumo: Pendidikan, Peran, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya

Revolusi Nasional

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Urip dan keluarganya meninggalkan villa yang mereka tinggali dan pindah ke rumah mertuanya di Yogyakarta. 

Pada 23 Agustus, setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) berdiri, Urip memimpin sekelompok formasi militer nasional.

Pada 14 Oktober 1945, sembilan hari setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berdiri, Urip ditetapkan sebagai kepala staf dan panglima sementara.

Dalam rapat kabinet, Urip diperintah untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta. 

Sesuai keputusan pemerintah, pada 20 Oktober, Urip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljohadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang Soeprijadi.

Namun, karena Soeprijadi tidak pernah muncul untuk mengemban tugasnya dan posisi Menteri Pertahanan kosong, Urip pun merasa diawasi dan ditekan untuk segera membentuk struktur militer yang stabil.

Pada 2 November, ia menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia. 

Urip juga mulai menyalurkan senjata ke berbagai unit TKR. 

Ia mengambil alih senjata yang disita Jepang dan mendistribusikannya sesuai kebutuhan. 

Kalah dari Jenderal Soedirman

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan TKR, Jenderal Soedirman, komandan Divisi V Purwokerto terpilih sebagai panglima angkatan perang. 

Melalui dua tahap pemungutan suara buntu, Urip meraih 21 suara dan Soedirman unggul dengan 22 suara. 

Komandan divisi Sumatra semuanya sepakat untuk memilih Soedirman. 

Pada masa kepimpinan Soedirman, Urip dipilih untuk menjadi kepala staf dengan pangkat letnan jenderal.

Setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada 18 Desember, ia mulai berupaya untuk mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang.

Sedangkan Urip bertugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.

Bersama-sama, Soedirman dan Urip berhasil mengatasi ketidaksepahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL.

Baca juga: Djuanda Kartawijaya: Pendidikan, Karier Politik, dan Perannya

Akhir Hidup

Kondisi kesehatan Urip mulai melemah. Ia pun menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay. 

Namun, pada 17 November 1948, Urip ambruk dan wafat di kamarnya di Yogyakarta akibat serangan jantung. 

Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki.

Penghargaan

Urip menerima sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah secara anumerta atau tindakan yang berkaitan dengan seseorang dan dilakukan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. 

Ia mendapat Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960), Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967), dan Bintang Kartika Eka Pakci Utama (1968). 

Pada 10 Desember 1964, Urip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Kepres No. 314 Tahun 1964. 

Pada 22 Februari 1964, akademi militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk dirinya. 

Urip digambarkan sebagai seorang putra Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta. 

Selain itu, nama Urip juga dijadikan sebagai nama jalan, termasuk di kampung halamannya, Purworejo, Yogyakarta, dan di Jakarta.

Referensi: 

  • Adi, A. Kresna. (2011). Soedirman: Bapak Tentara Indonesia. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo. 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com