Zainul dipercaya menjadi Panglima Hizbullah dengan tugas utama untuk mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor.
Pasca proklamasi, Zainul bertugas mewakili Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR.
Selain mengikuti BP-KNIP, Zainul juga masih aktif memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Belanda berhasil menguasai Yogyakarta.
Pada saat darurat tersebut, BP-KNIP tidak dapat berfungsi, sehinggal Zainul bergabung sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD).
Tugas utamanya yaitu melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Soedirman.
Pada pemilu 1955, Zainul menjadi anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR.
Memasuki era Demokrasi Terpimpin, Zainul bersedia untuk menjadi ketua DPR Gotong Royong (DPRGR).
Di tengah meningkatnya politik, pada 14 Mei 1962, saat salah Idul Adha, Zainul berada di barisan terdepan bersama Soekarno.
Ia pun tertembak peluru yang telah diarahkan oleh seorang pemberontak DI/TII dalam upayanya membunuh Presiden Soekarno.
Karena kejadian tersebut, Zainul harus menderita luka bekas tembakan selama 10 bulan.
Pada 2 Maret 1962, Zainul dinyatakan wafat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.